Langsung ke konten utama

Bom Waktu KUHP Baru Dalam Wajah Diktatoriat Indonesia

Sedih jika melihat fenomena yang terjadi di Indonesia belakangan ini, termasuk mengenai kontroversi disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Indonesia. Hal tersebut disinyalir penyebabnya tak lain adalah mengenai pasal-pasal yang menurut banyak pihak "masih bermasalah" hingga berujung penolakan dengan bentuk demonstrasi, namun pihak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) masih ngotot mengesahkan RKUHP tersebut. Hingga puncaknya, pada 6 Desember kemarin Rancangan tersebut resmi menjadi KUHP.

Hal yang ingin saya soroti bukanlah mengenai pasal-pasal bermasalah yang ada dalam KUHP tersebut, melainkan mengenai gejala sosial Indonesia yang sudah mulai menunjukan jika demokrasi di negara kita hanyalah angan-angan dan omong kosong belaka.

Bagaimana tidak? Menilik kasus omnibus law pada 2020 kemarin saja contohnya, banyak serikat buruh dan mahasiswa diberbagai daerah menolak keras mengenai undang-undang cipta kerja (CIPTAKER OMNIBUS LAW). Demonstrasi, bahkan aksi anarkisme terlihat jelas menggambarkan penolakan keras dari masyarkat Indonesia tentang RUU tersebut, namun nihil, Rancangan Undang-undang tersebut tetap sah!

Tak ubahnya 2020, pada tahun kembar 2022 inipun terjadi insiden yang sama. Bahwasannya RKUHP yang banyak sekali elemen mempermasalahkannya, DPR RI tetap tancap gas mengesahkan RKUHP tersebut. Entah dalam rangka  apa mereka mengesahkan KUHP yang bahkan rakyat Indonesia sendiri menolak undang-undang tersebut. 

Lantas, jika rakyat saja menolak, untuk siapakah sebenarnya undang-undang ini? Dan pihak siapakah DPR ini?

Jika dilihat dari gejala yang semakin menunjukan kemrosotan demokrasi Indonesia saat ini, demonstrasi bukan lagi "ekspresi" penolakan yang bisa dianggap serius oleh penguasa. 

Mungkin saja mereka sudah bosan dengan demo, karena beberapa dari kita mungkin sering menyalahgunakannya untuk menjadi ajang adu eksistensi atau unjuk gigi saja, setelah itu sudah. 

Jika memang begitu, apakah sudah saatnya untuk rakyat turun ke jalan dengan cara yang lain? 

Tentu jika melihat tahun sebelum reformasi lahir, yakni pada 1998. Demonstrasi bukanlah satu-satunya yang menjadikan bapak Soeharto turun, akan tetapi aksi anarkisme, hingga penjarahan diberbagai tempat yang marak terjadi saat itu. Akhirnya menjadikan situasi keruh dan memaksa sang tangan besi untuk turun tahta.

Jika melihat kondisi saat ini kecil kemungkinan jika sampai terjadi penjarahan dan anarkisme seperti 1998, karena faktor penyebab yang berbeda. Adapun sekarang yang terjadi adalah murni faktor politis, tanpa diikuti faktor ekonomi seperti 98. 

Namun, fenomena "sah dengan paksa" ini juga tidak boleh disepelekan, apalagi ditanah yang katanya tumbuh subur benih demokrasi didalamnya. Hal ini dikarenakan, bisa jadi jika "politikus negara" ini terus melangkah dengan tanpa restu rakyat, maka esensi demokrasi yang seharusnya menaruh rakyat/demos sebagai Tuhannya telah hilang. 

Maka masing-masing pihak telah sama-sama memeluk "Bom Waktu" yang bisa saja meledak dalam pelukan rakyat, berupa negara Indonesia yang akan menjadi negara demokrasi terpimpin satu arah, atau jika meledak dalam pelukan pejabat negara dalam bentuk ekspresi protes selain demonstrasi, bisa anarki ataupun yang lebih tak terduga lagi.

Sekian, dan tetap hidup

Komentar