Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2020

Lucy Irigaray dan Feminisme Posmodern

Lucy Irigaray adalah salah satu tokoh post-feminisme, sebuah paham atau gerakan yang lahir sekitar tahun 1980an hingga sekarang.  Lucy Irigaray ini sendiri memfokuskan kajian feminismenya pada budaya dan bahasa, dirinya beranggapan jika bahasa yang sudah tercipta dan kita gunakan sehari-hari telah ditunggangi oleh kepentingan dari pencipta bahasa yang kebanyakan diisi oleh kaum laki-laki, sehingga bahasa menurut Lucy adalah belenggu patriarki terkuat yang tidak mungkin dilepaskan.  penjelasan disini Contohnya adalah kajian psikologi Sigmund Freud yang mengatakan jika peran wanita sebagai gender kedua tidak bisa dipungkiri, karena wanita tidak memiliki penis yang merupakan simbol superioritas. Disini sangat jelas, jika maksud penyimbolan "penis" sebagai bentuk kekuasaan yang jelas tidak akan mungkin dimiliki oleh kaum wanita, sebenarnya adalah proses penguasaan secara tidak sadar dan proses mempengaruhi agar kaum wanita mengamini hal tersebut dan menerima dirinya s

Wacana Analisis Kritis : Ilmu Ruwet!

* Alert! Agak membingungkan! Kita pasti sering mendengar kata wacana. Yah, kata yang sering diucapkan oleh teman kita saat merencanakan suatu hal dan pasti akan ada yang nyeletuk "jangan sampai jadi wacana ya, jangan wacana doang ya, pliss ntar wacana" dan lain sebagainya.  Arti kata wacana dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) sendiri memiliki arti percakapan atau komunikasi verbal atau sejenisnya. Namun seiring berkembangnya waktu dan semakin banyaknya yang menggunakan kata ini, akhirnya banyak yang me-sinonimkan kata wacana dengan rencana.  Yah, fatal memang, namun saya tidak ingin membahas tentang kengawuran ini, saya hanya akan membahas apa sebenarnya wacana dalam perspektif Sosiologi.  Wacana menurut Michel Foucault memiliki arti segala bentuk praktik sosial yang dilakukan, baik secara verbal ataupun non-verbal (contoh; bicara, bahasa, tulisan, kode, simbol, isyarat, dll).  Dalam usaha untuk menemukan kepentingan, arti, atau makna dari suatu "wacana

Fenomenologi : Aku Adalah Bos Akan Pikiran dan Prasangkaku Sendiri

Fenomenologi modern, pada umumnya dipengaruhi oleh Pemikiran Max Webber, yakni Verstehen atau fenomenologi Max Webber. Webber menjelaskan pada pemikirannya, jika setiap tindakan individu adalah rasional. Rasional yang dimaksud Max Webber dibagi menjadi 5.  Pertama, Rasionalitas Formal: didasarkan pada kalkulasi atau untung dan rugi.  Kedua, Rasionalitas Instrumental, yakni didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas dalam pencapaian tujuan.  Ketiga, Rasionalitas Nilai yang didasarkan pada hal yang dianggap baik, buruk, benar, salah, dan hal berbau normatif lainnya.  Keempat, Rasionalitas Tradisional: didasarkan pada hal yang telah dilakukan secara turun temurun (tradisi).  Rasionalitas Afektif: Didasarkan pada emosi/perasaan. Penjelasan Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dal

Resensi Entrok: Coutane

Judul :  Entrok  Penulis: Okky Madasari Penerbit: Gramedia Pustaka Tahun terbit: 2010 ISBN: 978 - 979 - 22 - 5589 - 8 Dari judulnya saja sudah membuat mata pria seperti teman saya yang bernama Wahyu a.k.a Pambud pasti langsung terbelalak matanya. Pasalnya, dia sangat menyukai hal-hal yang menyangkut sastra perkelaminan seperti itu. Entah dia menganggapnya sebagai seni atau apa, tapi yang saya tau hanya dia suka sastra wangi.  Judulnya memang agak asing ditelinga kita yang modern sekali ini, karena kata entrok ini diambil dari istilah zaman dulu yang mengisyaratkan mengenai kain penopang payudara atau bra. Buku ini pada awalnya, dan memang yang ditonjolkan dari segi perjuangannya itu sendiri berkisah dari seorang perempuan bernama Marni yang menginginkan bra atau entrok. Akan tetapi, ibunya yang menentang karena dirinya hanya perempuan kelas bawah dan sebatas pengupas singkong pun menjadi alasan ibunya tak mengizinkan tekadnya. Namun, Marni tidak patah semangat dan terus berjuang.  Disi

Jangan Takut ke TPS, Takutlah Untuk Pergi Bekerja!

Fatwah halal pergi ke TPS dari pemerintah pusat pekan lalu juga sempat membuat saua tergelitik. Pasalnya, pemerintah semakin terlihat kebimbangan dan plin-plan nya setelah melakukan tarik ulur kebijakan yang memang secara kesiapan, pasti tidak akan siap karena ini merupaka insiden. Akan tetapi, tak lantas itu menjadi acuan oleh pemerintah, karena seharusnya pemerintah juga sudah memikirkan bagaimana konsekuensi yang akan diterima dalam setiap keputusan. Tentu saja semua memiliki resiko pada porsinya masing-masing, namun disinilah peran ahli untuk menangani masalah tersebut. Dan "memaksa" masyarakat untuk menyumbangkan suaranya pada pejabata-pejabat daerah, bukanlah keputusan yang tepat.  Alasan paling pertama dan utama adalah karena pandemi masih belum berakhir, bahkan terus melonjak jumlahnya. Angka-angka yang sudah terpasang di daftar satuan tugas (Satgas) COVID'19 nasional juga mengungkapkan adanya lonjakan yang cukup signifikan pasca pilkada serentak pekan

Manusia Adalah Hewan yang Berpikir

Manusia diciptakan dengan akal budi yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan akal budi dalam kehidupan sehari-hari yang membedakan manusia dari binatang meskipun diklasifikasikan dalam Ilmu Biologi sebagai satu kingdom yang sama. Tidak heran jika sewaktu-waktu manusia yang dinilai beradab, bisa menjadi amat bengis bahkan bagi binatang sekalipun. Hubungan antar sesama manusia atau manusia dengan alam, bisa menjadi sebuah tolak ukur bagaimana manusia dinilai lebih beradab dari binatang.  Kenyataannya, bangsa yang dianggap paling beradab pun bisa berlaku lebih bar-bar dari bangsa yang dianggap tidak mengenal peradaban karena perlakuannya terhadap lingkungan dan sesama manusia. Misalnya saja era kolonialisme yang juga sebuah era yang dinilai menyebarkan kebudayaan beradab dari Bangsa Eropa nyatanya juga melakukan hal yang amat destruktif kepada bangsa-bangsa jajahannya. Mungkin modernisasi memang perlu bagi beberapa negara, tapi pembunuhan dan perusaka

Tuhan yang kecil

Awal kedatangannya, Islam dianggap sebagai agama yang adem ayem, mengayomi, adil (tak ada kasta seperti Hindu-Budha), dan tak mendiskriminasi.  Ulama zaman dulu, yang masih dipegang oleh wali songo, memikirkan bagaimana caranya agar umat manusia pada zaman dahulu masuk surga; melalui dakwah-dakwahnya yang tak menghakimi, membimbing mulai dari nol, dan melakukan pendekatan pengenalan Islam dengan halus. Seperti menggunakan kemenyan sebelum mengaji, berdakwah dengan media wayang kulit, dan kidung-kidung jawa. Berbeda dengan ulama sekarang yang kerap menceritakan kengerian siksa neraka, mudah berkata kafir dan menjustifikasi umat.  Dengan mudahnya kata kafir dilontarkan kepada saudara se-muslim mereka. Padahal, pada zaman nabi Muhammad SAW, kata kafir hanya digunakan untuk orang yang memusuhi dan tidak beriman kepada Allah SWT. Tapi sekarang, mereka mengkafirkan sauadara muslim mereka hanya karena melakukan suatu amalan yang mereka nilai bid’ah atau tidak sejalan denga