Langsung ke konten utama

Begitulah

Dari dulu saya membenci perdebatan lelaki dan wanita, pembahasan ihwal gender adalah suatu hal yang bulshit menurut saya, karena ini hanya tentang stigma masyarakat saja. Akan tetapi, akhir-akhir ini saya mulai kembali mempertanyakan mengenai hal itu, karena suatu konstruksi sosial biasanya hanya ada karena dua kemungkinan, jika tidak berdasar pengalaman dari banyak orang yang akhirnya menjadi sebuah kesepakatan sosial, ya berarti dari konstruksi yang sengaja dibangun dengan maksud tertentu.

Entah ini masuk dalam pengertian yang mana, karena ini memang murni dari kegelisahan hati saya. Tak ada sangkut pautnya dengan keilmuan manapun.

Saya mulai pembahasan dengan hal yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan, mengenai isi kepala lelaki. Tak kalah rumitnya dengan isi hati perempuan, lelaki memiliki segudang rahasia yang hanya dia, Tuhan, dan otaknya yang tahu. 

Stigma jika lelaki adalah makhluk kuat yang tidak boleh cengeng, seperti yang di dengungkan oleh mbah Tejo, mungkin bisa menjadi belatih bermata dua. Di sisi lain menjadikan stigma lelaki menjadi makhluk superior yang sangat kuat, sementara itu di waktu yang sama menjadikan "cambuk" bagi dirinya sendiri untuk bisa menahan air matanya lebih banyak dan luka lebih dalam lagi.

Saya juga lupa, kapan terakhir kali saya menangis. Namun satu yang saya ingat, kondisi tahun lalu yang hampir membuat saya gila karena segala drama kehidupan yang mempontang-panting kan saya, tidak ada teman bercerita, hingga menjadikan saya manusia yang agak menjengkelkan. Itu yang mereka katakan.

Lelaki dan curhat, adalah suatu ketidakmungkinan, apalagi jika bercerita pada teman lelakinya. Hanya ejekan dan perundungan yang mungkin ia dapat, hal ini seperti yang saya katakan tadi diatas. Mbah Tejo peenah berkata "jika Tuhan menciptakan bahu lelaki untuk bersandar perempuan, dan menciptakan air mata perempuan agar lelaki melupakan air matanya sendiri,"

Terkesan bijak dan ksatria, namun kesialan stigma yang mengakar kuat ini akhirnya menuntun lelaki kadang lebih baik merenung, mengurung, atau bahkan ke hal negatif seperti mabuk.

Berbicara perihal pelarian, tak semua lelaki mabuk, tapi biasanya mereka yang mencari aman agar tidak terjerembab dalam hal itu lebih memilih untuk merokok. 

Benar, entah bagaimana bisa kumpulan tembakau, cengkeh, dan kertas yang dibakar itu bisa menjadi teman melamun saat isi otaknya terasa ingin pecah. Memikirkan masa depan, keluarga, ekonomi, tanggung jawab atau bahkan umat. Tetaplah dilakukan dengan lamunan yang ditemani dengan rokok dan kopi. Hal ini membuat saya menemukan sekaligus menjawab sebuah hipotesa baru yang saya cari selama ini, mengapa dulunya rokok yang pada awalnya akrab dengan wanita, berganti pada genggaman lelaki.

Bayangkan saja, otak sekecil ini dipaksa untuk bisa berbagi jutaan hal yang harus direncanakan dan dipikirkan. Lelaki terbiasa hidup dengan stigma jika senjatanya adalah logika, dan mengubur dalam-dalam perasaannya. Terkadang menjadi bingung ketika bertemu dengan keduanya dalam dirinya. Terjadi konflik batin yang hanya dia sendiri mengetahuinya.

Syahdan, mungkin setelah tulisan ini tayang dan terbaca oleh pembaca budiman yang sudah rindu dengan tulisan saya, akan merasa kesal dan memaki saya ihwal celoteh ngalor-ngidul yang tak jelas arahnya. Tapi tulisan ini lahir, tidak lebih hanya karena saya ingin membuang sampah yang sudah menumpuk di otak saya. 

Sekali lagi terimakasih untuk semuanya yang sudah sudi membuang waktunya untuk membaca ini. Silahkan komentar, saya mau ke kamar mandi dulu.

Komentar