Langsung ke konten utama

Warisi Apinya, Bukan Abunya!

Pernahkah anda membayangkan apa yang akan terjadi jika siswa kelas 10 SMK dipaksa bercengkrama dengan bocil kelas 6 SD? Jika menurut tuan dan puan sekalian itu adalah hal aneh, maka anda harus mendengarkan cerita saya. Silahkan rebus mie kuah, siapkan cemilan dan seduh teh hangat, karena cerita ini akan sedikit panjang. 

Saya mulai dari Hanin, mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi (Ikom) yang cengeng, banyak omong dan bipolar ini sempat bimbang apakah akan mengikuti agenda pertapaan kemarin atau harus memilih bekerja untuk mendapat tambahan uang saku.

Hanin yang bingung akhirnya membuat keputusan untuk meninggalkan angan-angan mendapat uang jajan lebih itu karena harus memilih bertapa bersama kami.

Selama proses pertapaan kemarin, saya sempat kaget karena kerudungnya tersingkap hingga membuat rambutnya yang mirip klobot jagung menjadi terlihat, usut punya usut, dirinya memiliki phobia yang cukup unik, karena katanya dia takut dengan rambut hitam yang rontok. Oleh karenanya, dia memutuskan untuk mewarnai rambutnya.

Tidak mengherankan untuk seorang wanita asal Mojokerto, yang memang kerap menunjukkan sifat unik. Sebut saja sesepuh Ikom Mojokerto, Amel angkatan saya yang kerap membicarakan ilmu parenting yang baik dan benar, namun disisi lain kerap membuat mental lawan bicaranya hancur karena hujatannya.

Hanin yang awalnya saya pikir adalah tipe mahasiswa mleyot dan malas berpikir, mendadak menjadi wanita yang senang dengan filsafat dan terus bertanya seperti bocil kematian yang setiap hari datang ke basecamp kami untuk sekedar berlarian di halaman. Tentu saja itu karena saya.

Meskipun sedikit mengesalkan karena melihat dirinya terus menghubung-hubungkan ke-wibu-an dirinya dengan filsafat, tapi setidaknya kini dia sudah mulai senang berpikir kritis, sehingga saya mengurungkan niat untuk membullynya. Semoga terus begitu.

Masih dengan wilayah dan prodi yang sama, Anisa adalah mahasiswa Ikom yang tidak Ikomable karena memiliki fashion "berbeda" dengan anak ikom kebanyakan, hodie abu-abu kesayangan yang ia kenakan terus setiap harinya, membuat dirinya lebih mirip wibu atau petinju wanita daripada mahasiswa Ikom.

Sama seperti Hanin, Anisa  awalnya bimbang memilih antara sekte kami atau organisasi kelapa coklat, akhirnya dengan yakin dirinya untuk masuk dalam perkumpulan orang-orang kumal yang hanya mandi saat ingat saja (kecuali saya).

Bisa dibilang, Anisa adalah tipikal mahasiswa nyeleneh, karena keyakinan hatinya melejit saat saya menceritakan jika kita adalah organisasi yang sering mendapat represi dan tentu saja banyak musuhnya. Entah apa yang dia harapkan dari kami, namun saya berharap agar semangat perlawanan dan belajarnya tak pernah surut, dengan apapun itu. 

Wanita yang lahir di tanah kemunculan Ya'juj dan Ma'juj kelak ini, kini sudah mulai berani meninggalkan hodie kesayangannya dan memilih memakai kaos simple untuk menemani hari-harinya membaca buku, kendati banyak melamun dan bermain ayunan daripada menghabiskan buku-bukunya, saya tetap tidak mempermasalahkannya. Mungkin itu caranya agar tetap menjaga kewarasan ditengah gempuran angkatannya yang upnormal untuk terus berambisi menjadi filsuf Telang. Tetap semangat belajar dan Semoga terus begitu.

Berbicara mengenai ayunan, saya teringat dengan wanita yang kerap berayun dengan kencang dan memutar-mutar ayunan hingga dirinya terlihat seperti gasing besar. Anak yang kecanduan filsafat Nihilismenya Nietczhe atau anak ini lebih senang menyebutnya dengan nama "Nizi" memiliki nama yang mirip dengan Capres nomor urut 3.

Anjar, mahasiswa prodi akuntansi yang nampaknya lebih tertarik pada ilmu perdukunan daripada dana kas besar/kecil ini membuat saya jengkel setiap harinya. Bagaimana tidak? Gaya bicara yang irit, muka datar, dan jawaban "tidak tahu" andalan Anjar sering dilontarkan ketika diskusi. Tentu saja hal ini akan membuat situasi diskusi akan mati begitu saja, ibarat saya adalah pria yang sedang berupaya mencari topik, Anjar justru berperan sebagai wanita ngeselin yang hanya menjawab "ya, tidak, bisa jadi, dan tidak tahu" saja. 

Apapun itu, perangainya yang menyebalkan ini nampaknya tak terlepas dari pola treatment yang ia terima di lingkungannya, sehingga membuat dirinya harus membranding dirinya sebagai cewek cuek, tegar, dan nihilis untuk menutupi ke melankolisannya ini. 

Tidak hanya sekali saya mendapati dirinya terkadang menangis ataupun sekedar tertawa lepas karena hal kecil. Belum lagi kesaksian angkatannya yang sering menemui dirinya sedang tantrum. Membuat saya berpikir jika Anjar tak ubahnya ABG yang masih ingin mencari jati diri. Cepat atau lambat, dia harus menghancurkan segala kerumitan yang ada pada dirinya, sebelum nantinya dia sendiri yang akan merasakan betapa menjengkelkan dirinya.

Terlepas dari itu, Anjar nampaknya hanya ingin tempat yang aman, dimana dia bisa menjadi dirinya sendiri, melepas tawa dan tidak terbebani agar dirinya menjadi sosok yang bukan dirinya. Keuletannya dalam melawan kerumitan karakternya membuat saya terkadang respect, sehingga saya selalu mengurungkan niat saya untuk memarahinya. Semoga terus begitu.

Sosok menjengkelkan selanjutnya adalah Stevani, mahasiswa yang tergila-gila ingin menjadi Najwa Shihab, sampai rela mengikuti proses yang sama seperti mbak Nana dengan mengambil kuliah prodi hukum, namun mengambil pemfokusan jurnalistik. 

Sikap diam dan banyak tertawanya Stevani ini berbanding terbalik dengan sifat menjengkelkannya yang kerap nyeletuk dengan suara lirih, namun membuat tersinggung. Seperti celetukan bapak-bapak yang ia lontarkan pada Adit, hanya karena Adit membuat kopi kapal api.

Selain itu, Stevani adalah tipikal mahasiswa tekstual yang susah sekali lepas dari bahasa-bahasa buku dan juga buku catatan yang kerap ia genggam. Hal ini yang nampaknya akan menjadi tantangan dalam prosesnya nanti, dan harus ia hancurkan sendiri tentunya jika benar dia ingin menjadi Najwa Shihab 2.0.

Namun, besar harapan saya, dia tak pernah menjadi orang lain. Melainkan menjadi dirinya sendiri, hingga bisa melampaui Najwa Shihab. Semoga tercapai dan semoga terus begitu.

Jika Stevani adalah pendiam yang menjengkelkan, maka di sisi seberang ada Yeni yang menjadi pendiam versi kalem. Suaranya yang lembut dan lirih kerap menjadi bahan lelucon oleh teman sesrawungannya. Pernah saat dia memanggil Rakha dengan sebutan abang, namun lirih. Sontak membuat semua orang tertawa, mulai dari situ saya melihat potensi dirinya menjadi komedian. Tentu saja bukan menjadi pelawaknya, namun menjadi bahan roasting pelawak nantinya, hehehe.

Wanita asal Pamekasan ini memiliki tekad yang kuat untuk menjadi seorang guru, latar belakang keluarganya yang juga dari lingkungan terdidik membuat idealismenya tumbuh subur, kemampuan literasinya juga lumayan, hanya saja dia harus memperbanyak kosa kata dengan cara bergaul dengan orang sekitarnya, sama halnya dengan saudara se-Maduranya, Stevani. Jaga idealisme itu dan semoga terus begitu.

Jika anda masih bersama saya, maka siapkan penyumbat telinga, tuan dan puan sekalian. Karena anak satu ini pasti akan membuat suara-suara mirip lebah ingin kawin. Yap, anak itu namanya Nely. 

Entah bagaimana bisa, saat saya pertama kali melihat Nely, yang terlihat adalah sosok Viola. Keduanya benar-benar mirip jika dilihat dari kebiasaannya yang kerap berteriak, tertawa kencang, memukul-mukul, hingga over ekspresi.

Wanita yang lahir di wilayah bumi wali ini nampaknya memiliki bibit kerumitan tersendiri dikarenakan kemalasan berpikirnya. Kemalasannya untuk berpikir secara radikal harus segera dihilangkan, agar potensi-potensi yang ada dalam dirinya menjadi tak terpendam.

Saya cukup terkejut saat dia menyerahkan esainya untuk di edit oleh saya, karena secara penataan, tulisannya sudah rapih, runtut, dan mudah dipahami. Hanya saja, lagi-lagi kemalasannya untuk berpikir lebih dalam membuat tulisannya hanya seperti orang-orang di watpad yang kerap menjadikan tulisannya sebagai bahan onani saja.

Sialnya, Nely tak hanya menerapkan kemalasan berpikirnya untuk dirinya sendiri, melainkan dia kerap menghasut kawan lainnya agar tidak melakukan apa yang dirinya tidak inginkan. Semoga tidak mleyot dan semoga terus begitu.

Tepat kemarin, mereka sudah menyelesaikan serangkaian kegiatan membosankan selama dua minggu penuh, besar harapan saya agar mereka menjadi tidak rumit ataupun menye-menye dengan alasan gender atau seterusnya. Semoga mereka bisa mewarisi api para pendahulu dan bukan abunya, semoga terus begitu.


- Sekber UTM, 08 Januari 2024

Komentar