Langsung ke konten utama

Lelaki eps 1

Sudah hampir setengah bulan dirasainya sudah tak lagi ada di rumah. Kini ia harus terbiasa meringkuk sendiri dalam bilik yang disewanya. Dipaksa memakan masakan yang tak pernah ia ciptakan ketika masih menjadi seorang anak rumahan. Kini dirinya sudah belajar mandiri, tanpa menggantung pada orang tua dan saudaranya lagi. Suatu hal yang susah, terkhusus untuk anak bontot sepertinya. Ah, sudahlah, hidup merantau memang tak sedap dirasa. Namun apa harus dikata, ia beranikan dirinya melangkah jauh dari rumah, lebih jauh dari lapangan komplek sebelah yang digunakannya bermain bola, lebih jauh dari surau yang digunakannya mengaji tatkala senja perlahan meneyelimuti langit, dan lebih jauh dari yang ia bisa bayangkan sejak masa kecil hingga dewasa yang dihabiskannya dalam kampung itu. Dilakukannya hal ini demi cita-cita menjadi orang beradab dan sahaja.

Ale memang tak pernah kemanapun, dirinya sadar tak suka sebenarnya bermain dengan temannya. Karena dirasa temannya itu tak asik. Selalu menghina tentang apa yang tak dibisanya, dia hanya bisa menjadi kiper saat bermain bola, dan itu bukan hal buruk sebenarnya. Tapi entah kenapa itu tiba-tiba menjadi sebuah aib di lingkungan pertemanannya. Saat ia main, hampir setiap pulang dengan kondisi tangan atau jari yang terkilir. Entah karena terprosok saat hendak menggapai bola dengan jemarinya, ataupun saat dia bertabrakan dengan pemain lain.

Tak pernah dirasai dirinya sial, bahkan saat cemoohan mulai menohok hatinya, menyayat dan mengguncang jantungnya dengan amat. Keringat mulai keluar dari kulitnya yang menghitam karena sering bermandikan sinar mantari. Debu yang mengepul dihadapannya kini, seolah juga mengejeknya, turut menyalahkan apabila wilayahnya kebobolan. Seburuk itukah seorang penjaga gawang yang tak kuasa lagi menghadang ganasnya bola, bahkan saat muka dan badannya ia gunakan sebagai pengganti jari-jarinya yang terkilir. Kini dirasanya situasi berubah, nyalinya mulai ciut dan hatinya seakan hampir lenyap ditengah riuh-rendah olokan kawannya. Kemudian ingatannya buyar saat suara salam berbarengan reotnya pintu kamarnya yang berbunyi saat digeser itu masuk kedalam bilik.

"Assalamualaikum..." suara itu meminta izin dan kemudian muncul seorang pria bertubuh kurus dengan rambut jingkrak.

"Waalaikumusalam.... Man" jawab Ale membalas doa dalam salam itu.

Tanpa diperintah ia lemparkan tasnya ke pojok bilik itu dan mendarat dengan suara ribut, kemudian tergeletaklah tas yang mengeluarkan bau menyengat mantari itu. Tak lupa di gantungkannya kemeja yang sedikit basah dan lusuh, baunya tak jauh beda dengan tasnya, hanya saja tas itu tak pernah basah, barangkali. Setidaknya terlihat seperti itu karena warna gelap yang menetralkan kondisi sebenarnya. 

Pria kurus itu bernama Firman, ia dapati temannya ini yang juga perantauan kemudian diajaknya untuk menyewa kos bersama di daerah dekat kampus. Tak pernah bertemu sebelumnya, namun awalnya Ale merasa cocok setelah berbincang beberapa saat dalam kampus singa tempat mereka akan menimba ilmu selama empat tahun, mungkin juga lebih. Tak sedikit mahasiswa kampus singa ini suka berlama-lama dalam studinya. Mungkin karena saking gilanya belajar sampai tak sadar teman seangkatannya sudah akan melamar menjadi dosen di kampusnya, atau sebagai kepala perusahaan yang di pimpin oleh kerabatnya, entahlah bagaimana, tapi yang ditemui Ale kebanyakan mahasiswa seperti itu jarang mandi, berambut gondrong dan kerap menenteng buku aksi massa milik Tan Malaka. Diskusinya dianggap tak pernah berakhir, dengan menghisap rokok dibarengi kopi hitam pahit yang siap jadi teman ngobrolnya tentang bobroknya sebuah negara dan mengutuk keras kapitalisme yang menggurita, bahkan menjangkiti negara komunis itu sendiri. Tentu itu mimpi buruk bagi seorang kiri, tak ada satupun orang yang dikenal ataupun ditemuinya tanpa diobralkan khutbah kiri itu ke telinga-telinga lawan bicaranya. Entah didengar atau tidak, mereka menganggap perjuangan itu perlu layaknya marx yang dulu sampai diusir karena pemikiran atau Tan yang harus menghabiskan masa mudanya berpindah pindah penjara, mengembara, dan dalam pelarian karena gagasannya. Saat dirasainya kopi itu mulai dingin, ia seruput kopi itu sambil terus berkhotbah dengan kepulan asap yang keluar dari sela gigi dan bibirnya seperti seekor naga, dan tak pernah ditemuinya teman sejati dibanding kopi dan rokok itu, yang kapan saja siap mendengar ocehannya sampai jam tiga pagi. 

Ale nampaknya lapar, namun karena tak ingin dianggap individualis, dia menunggu Firman untuk diajaknya memasak dan makan bersama. Namun belum sempat Ale ucapkan ajakannya, dengkuran lirih dan seketika mengeras terdengar dari samping kiri. Ternyata Firman sudah merebahkan dirinya dipelukan kasur empuk yang di dudukinya sekarang, sial dirasanya Ale. Karena ia tahu hal yang paling mustahil terjadi selain manusia merupakan evolusi kera adalah membangunkan Firman yang baru saja tertidur, ia akan seperti orang mati suri, ah tidak, lebih tepatnya koma mungkin.

"Sial sekali anak ini, aku menunggunya untuk makan, tapi ternyata dia lebih butuh tidur ketimbang nasi" gaduhnya pada saat itu karena perutnya mulai bersuara seperti kucuran air yang mengericik lirih dikubangan. Ditahan dan dielusnya perut itu dengan harapan bisa menenangkan perut gilanya yang terbiasa makan tiga kali sehari. 

Dengkuran itu terdengar semakin keras, seperti kerbau usai digorok jagal. Kemudian dengan posisi tak karuan Firman berbalik, dan cairan bening mengalir dari belahan mulutnya. Menjijikkan sekali menurut Ale, tapi dia juga tak pernah tau apa yang dilakukannya saat ia terlelap. Untuk itu, tak pernah ia mengutuk temannya, walau ia ingin.

Disaat seperti ini, solusi terbaik adalah mengikuti seperti apa yang Firman kerjakan. Seolah seperti ada yang menarik dan menyeret kakinya sehingga punggung yang menyandar ini perlahan merosot dan merubah posisinya menjadi ambruk diatas dipannya, kemudian ia hilang kesadaran. Terlelap.

Terdengar sayup-sayup suara orang mengaji, ingatannya perlahan pulih dan berjingkat. Diingatnya dia belum ibadah pada Tuhan, dan benar saja ini sudah pukul lima sore, ia lewatkan sholat dzuhur. Bergegas dia tendang selimut yang dipeluknya dan melompat ke kamar mandi, membasuh muka, tangan, kepala dan kakinya. kemudian membayar hutang ibadah yang telah dilewatinya, dilanjut dengan sholat ashar meski dipenghujung waktu.

Seusai ibadah, dibayangkan apa yang akan dilakukan ayahnya jika ketahuan ia lalai dalam menyembah Tuhannya, pasti akan dicerca dan dilumat habis dengan pukulan ayahnya untuk membuat efek jera. Ale ingat, sering dia dulu terima pukulan itu di masa dirinya masih sekolah dasar, saat masih senang keluyuran hingga senja. Sesampainya dirumah dirinya selalu dihajar oleh ayahnya karena melalaikan ibadahnya itu, sangat ketat. Apalagi saat setelah kemaluannya usai dipotong, disandarkannya gelar baligh pada dirinya, menandakan ia sudah bisa membedakan mana yang salah dan benar, ditandai dengan mimpi basah yang kadang menyelinap di setiap tidurnya. Kadang dengan kerbau, kadang juga artis yang sering dilihatnya, atau wanita yang tak jelas wajahnya. Siapa peduli, burunh Ale tetap berhasil ereksi dengan apapun dia mimpi. Itu pertanda hormonnya sudah matang dan kabar buruk bagi pengasuhannya. Dia ingat, sejak saat itu dia mulai malas meninggalkan huniannya.

***

Bulan purnama datang dengan kesempurnaan lingkarnya, memanggil dingin yang mendadak selimuti setiap kulit orang sekeliling. Menyeruput kopi perlahan, sayup-sayup terdengar musik yang keluar dari salon tua milik pak Tarji. Berdinding bambu dan bercagak kayu lusuh yang tak digantinya sejak tahun 1998, warungnya sudah beberapa kali renovasi, namun tetap ia pertahankan nuansa dinding anyaman bambu itu. Katanya supaya tak gerah buat para pelanggan, angin semilir memang kerap masuk ke rongga anyaman bambu itu, setiap udara yang menerobos masuk, melewati setiap cela tubuh, menyajikannya rasa nyaman sejuk-damai pada pengunjung. Di siang hari yang panas jadi tak begitu terasa, namun masalah datang saat malam hari, ketika embun mulai jatuh dengan gemulainya, membasahi setiap anyaman dan cagak warkop pak Tarji. Mengingatkan para pelanggan untuk segera kembali, ke rumah masing-masing, mengeloni anak istri. Bagi yang belum kawin, mereka peluki bantal ataupun guling.

Mereka yang bertahan, biasanya para mahasiswa, yang mungkin sudah tak ada tanggungan mata kuliah, tapi tak tahu kenapa masih menjadi mahasiswa jika tak kuliah. barangkali mereka suka dipanggil maha, ataupun mereka masih haus belajar di kampus singa.

"Tak pernah kujumpai tempat sedingin kota ini, bahkan kampungku yang pesisir," ucap Ale menggerutu karena kedinginan, ia lupa membawa jaket tebal yang biasa ia pakai keluar.
"Barangkali memang begitu, angin tak membawa dingin le, dia hanya tau meniup-niup, membawa apapun yang dilewatinya. Kadang oksigen, kadang bau terasi, kadang dingin, kadang juga aroma perawan yang bersolek. Ah, soal perawan yang bersolek, siapalah yang tak tergoda pada aromanya, dialah sang pembunuh logika, membuat setiap lelaki takut untuk berpikir kritis padanya, tak ada lelaki yang cukup pintar dihadapan seorang wanita..." kemudian Ale memotong sambil menepuk paha Dimas: "harus kau perjelas, perempuan yang seperti apa!"

Dimas menegaskan: "tentu semua perempuan le, memang ada yang tak tergoda?"
Ale membalas dengan tawa menjengkelkan, sembari sesekali menyembulkan asap dari mulutnya: "tentu harus detil, perempuan yang kau maksud adalah perempuan cantik, tentulah para pria ke blinger dengan itu! Tak ada lelaki tak suka wanita cantik, entah raja atau rakyat jelata, mereka suka wanita cantik, hanya saja kasta dan harta mereka yang menentukan si pria akan dapat wanita secantik apa," aroma tembakau menguat jadi satu ruangan, asap mulai berputar-putar diatas, tertahan keperkasaan genting, dan ruangan mulai menjadi sedikit kelabu. Nafas menjadi sesak karena asap mengikat hidung dan paru-paru mereka, kemudian gumpalan udara terasa seperti menonjok dadanya hingga keluar-keluar udara itu, menyembul dari dadau dan tenggorokannya. Batuk!

Dimas menarik nafas, menghisap kreteknya dalam-dalam, seperti orang yang kelaparan asap tembakau, membuat kreteknya sekejap menjadi kecil dan kemudian dihembuskannya kepulan asap itu, memenuhi wajah Ale yang sedang duduk damai. "Barangkali benar katamu, tapi apa kau tak ingat kisah Adipati Pranggola yang hendak merampas Roro Mendut dari kasihnya?" Dimas bertanya sambil mengangkat kreteknya hingga sejajar dengan telinga, dijepitnya kretek itu dengan dua jarinya dan secara perlahan senyum terlukis di wajah Dimas, dan ia melanjutkan: "dia adalah wanita jelata yang hanya menginginkan hidup damai dengan kekasihnya, namun nahas kecantikkan yang di damba banyak wanita ternyata membawa kutukan baginya. Dipaksanya dia beristri Adipati, hingga dia harus memberanikan diri melawan dengan berjualan kretek, menjajakkannya kesana kemari kreteknnya. bermodalkan ludah diujung kretek yang ia jilat dengan lidahnya yang lancip dan mungil, hingga basah kertas itu. Entah kenapa ketika kretek itu dijilat Roro, menjadi laris manis, konon ludahnya manis-legit. Barangkali memang begitu ludah perempuan, makanya banyak yang siap bertarung hebat, demi menikmati ludah manis perempuan. Aku jadi jijik membayangkan ludahnya, tapi juga terangsang dibagian bawah. Kemaluanku terasa menyumbul dan meronta dari tempatnya, sialan sekali perempuan!" Dimas memegangi tempat kemaluannya berada, terus ia tekan-tekan agar bisa kembali jinak. Tak kunjung reda pemberontakkan dari burungnya itu, nampaknya burung itu menjadi semakin perkasa dan susah dikendalikan. Hanya bisa dipatahkan atau menunggu dengan sabar hingga keinginannya untuk menegang kembali melunak. Dimas tak sanggup kendalikan makhluk yang bersarang di celananya itu, ia tegang dan lemas sesuka hatinya, tak ada satupun yang bisa perintahkan, apalagi saat mulai menegang.

Ale terbahak lepas: "dasar cabul!" Kembali ia tertawa sambil memukul pundak sobatnya itu. "Senjata perempuan adalah erotismenya, dan itu yang disukai lelaki. Tubuhnya yang molek adalah mesin penghancur lelaki, setiap lekukannya menggairahkan nafsu lawan jenisnya. Kau harus dapat kendalikan burungmu yang tak seberapa itu, dia jauh lebih berbahaya daripada Adolf Hitler atau hantu komunis yang katanya dapat memberangus kesatuan bangsa. Banyak perpecahan yang juga ditimbulkan kelamin dan nafsu, berapa banyak pemuka agama terjerumus, hancur reputasinya hanya karena tak sanggup ia tundukkan burungnya itu. Seorang ayah kandung yang seharusnya mengasihi malah menggagahi buah hatinya sendiri. Bejat!" Ale menggebrak meja dan melanjutkan perkataannya: "Kadang kelamin bertingkah menjadi otak kedua, dan seringkali mengungguli otak yang sebenarnya. Saat itu terjadi, siaplah kau terjerumus dalam kubangan nestapa yang hina-dina."

"Kita ini sebenarnya membicarakan apa sih?" Dimas memprotes.
"Entahlah, pembahasan jadi tak terkendali kesana kemari," Ale menggaruk kepalanya dan tertawa kecut. "Barangkali ini sudah larut, pukul berapa ini?" Ale melanjutkan bertanya.
"Pukul tiga" 
"Oh pantas, sudah dini hari"
"Memang kenapa?"
"Entahlah, tapi memang kerap pembahasan dini hari adalah pembahasan yang tak bisa dikendali, tubuh yang mengisyaratkan untuk rehat, kita gunakan untuk berpikir, alhasil mabuklah kita, mabuk oleh waktu, terlena, dan pasti besok tak sholat subuh, hahaha..." Terbahak lagi si Ale, diikuti dengan tawa lepas dari Dimas.

"Perihal kelamin tadi, kau sudah dengar ustad yang hamili 14 santrinya?" Dimas bertanya penasaran.
"Sudahlah Dim, lebih baik kita pulang saja, biarlah kelamin ini menjadi tanggung jawab pemiliknya" Ale enggan menanggapi karena terlewat larut, dia takut besok tak bangun saat subuh, untuk melaksanakan ibadah pada Tuhan, memohon jodoh dan rejeki, setidaknya itulah doa yang selalu diulangnya selama ini.
"Kenapa kau ini? Takut?"
"Tidak, aku tak pernah takut. Aku hanya enggan mengurusi burung orang lain, mereka sudah diberi kepala dan isinya masing-masing, bahkan pada burungnya. Jadi tergantung pada kitalah mau gunakan kepala yang mana, atas ataukah bawah. Kepala atas tentulah logika dan akal sehat, kepala bawah berisi nafsu. Semua kendali ad pada diri empunya."
"Kau memang paling bisa le, kalau soal ngeles" tertawa lagi mereka dan beranjak dari tempatnya.

Suara deruman kendaraan mereka mengaung mengacak-acak sepi, ditengah dinginnya kabut malam, Dimas dan Ale membalap motornya masing-masing. Dirasanya kulit Ale yang tersayat dinginnya embun pagi, tak dipakainya pakaian tebal sehingga dia menyetir sambil menggigil. Digeber mereka berdua punya motor, hingga terasa ingin terbang motor mereka, beruntung tak ada kendaraan yang menghadang keduanya, hingga mereka bernasib baik dan sampai di bilik masing-masing. Selimut memeluk Ale dan menyembuhkan luka yang dibuat embun pagi, dirasanya sedikit demi sedikit rasa hangat dari selimut dan kasur empuknya. Mengantarkannya pada tidurnya yang lelap tanpa mimpi, di pasrahkan kepalanya pada bantal kasurnya, seolah ia tak akan angkat lagi kepala itu. 

"Selamat tidur, joni. Jangan pernah merepotkanku." sambil mengelus celana depannya dan tersenyum.

***

Satu tahun berlalu

Komentar