Langsung ke konten utama

Sejarah Ospek


Ospek merupakan kegiatan untuk memperkenalkan kampus kepada mahasiswa baru. Kegiatan ini merupakan kegiatan institusional yang menjadi tanggung jawab Universitas dalam mensosialisasikan kehidupan di Perguruan Tinggi dan proses pembelajaran dimana pelaksanaannya melibatkan unsur pimpinan universitas, fakultas, mahasiswa dan unsur-unsur lainnya yang terkait. Nah, pengertian dari Wikipedia sudah  menjelaskan bahwa Ospek ini ialah kegiatan untuk para mahasiswa baru agar mengetahui lingkungan kampus, dan juga sistem – sistem yang diterapkan oleh kampus.

Tetapi yang jadi permasalahannya adalah masih ada di zaman sekarang kampus – kampus yang mengadakan ospek dengan sistem perpeloncoan dan menjadi ajang balas dendam para senior terhadap juniornya. 

Beberapa hari lalu sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial tentang vidio pembentakan mahasiswa senior kepada juniornya, lantaran tidak memakai ikat pinggang. Vidio tersebut adalah ospek daring yang dilaksanakan oleh universitas negeri Surabaya (UNESA). 

Sejarah ospek di Indonesia itu berawal dari zaman kolonial, yakni di Sekolah STOVIA (sekolah kedokteran era Belanda). Menurut Muhammad Roem sebenarnya ospek sudah ada sejak tahun 1900, sedangkan Roem sendiri menjalani ospek ketika dirinya masuk ke STOVIA pada tahun 1924. Saat itu, kata ospek sendiri bernama 'ontgroening' yang berarti hijau (groen) dalam bahasa Belanda itu untuk mengumpamakan para mahasiswa baru. Istilah ontgroening itu sendiri dimaksudkan untuk menghapuskan “warna hijau” tersebut agar mereka menjadi lebih dewasa dan cepat untuk beradaptasi di lingkungan STOVIA.

'Ontgroening' saat itu dilakukan selama tiga bulan dan suasana-nya sangat ramai di sekolah. Hal tersebut dikarenakan pengawasan dan peraturan ospek yang sangat ketat. Peraturan tersebut di antaranya seperti waktu ospek yang dibatasi, tidak boleh digunduli, tidak boleh melakukan ospek di waktu istirahat serta waktu belajar, dan hanya boleh dilakukan di dalam area sekolah serta asrama.

Sejarah ospek di Indonesia tidak berhenti sampai disitu, ketika masa penjajahan Jepang di Indonesia. STOVIA tinggalan Belanda berganti nama menjadi Ika Daigaku ( sekolah kedokteran). Perpeloncoan mulai terjadi setelah Stovia berganti nama menjadi Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) dan dikelola oleh militer Jepang. Seorang alumni mahasiswa Ika Daigaku menyebutkan bahwa kata perpeloncoan itu sendiri muncul sebagai pengganti kata 'ontgroening' yang sebelumnya digunakan untuk ospek dalam bahasa Belanda. 

Nah kata pelonco sendiri menurut KBBI itu ialah seorang anak kecil yang berkepala gundul, nah dari situ bisa kita simpulkan bahwa perpeloncoan ini ialah tindakan penggundulan kepada mahasiswa baru agar lebih hormat kepada kakak tingkatnya. Pelonco juga memiliki makna tersendiri, yaitu seseorang yang baru dan tidak mengetahui apa – apa  dan harus diberi pendidikan dan pengetahuan oleh seniornya.

Nah, dari situlah budaya perpeloncoan yang diterapkan di ospek tersebut dimulai. Hal tersebut sempat diprotes oleh salah satu tokoh nasional yaitu Soedjatmoko dan kawan-kawannya. Mereka menolak keras untuk digunduli saat masa perploncoan tersebut. Akibatnya, Seodjatmoko dikeluarkan dari Ika Daigaku. Dan akhirnya budaya tersebut masih dibawa sampai zaman sekarang.

Yap sungguh miris memang jika kita melihat realitas – realitas yang ada di Indonesia ini, khususnya di lembaga pendidikan yang masih menerapkan sistem yang sama, mari doakan bersama – sama agar budaya perpeloncoan benar – benar hilang dari ranah orientasi untuk siswa baru. 

Mungkin agak lucu dan ironis ketika melihat orang-orang yang dianggap terdidik, akan tetapi malah menggunakan sistem "perploncoan" yang sudah sangat kuno ini. Mahasiswa yang katanya sebagai "Agent of Change" seharusnya tidak menerapkan sistem laknat ini jika memang menginginkan perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik. 

Kecuali jika makna "Agent of Change" disini adalah agen perubahan untuk merubah Indonesia ke arah yang lebih buruk. 

Komentar