Langsung ke konten utama

Menengok Kapitalisme Dalam Film Squid Game

Beberapa hari lalu, Netflix menayangkan series terbaru dari Money Heist season 5. Sebuah film yang syarat akan kritik kepada para "orang kaya rese" ini memang sukses menyedot perhatian masyarakat dunia, hingga topeng yang menjadi ikon di film ini, yakni wajah Salvador Dali menjadi sebuah simbol perlawanan dibeberapa negara.

Sebelum series terbaru ini dirilis oleh netflix, ada sebuah film yang sangat populer hingga suara dan karakternya menjadi filter Instagram dan ramai di tiktok, yakni Squid Game.

Pasti beberapa teman-teman sudah berada pada titik jenuh mendengar kata “Squid Game”, yah, salah satu film dari negeri gingseng ini memang bisa dikatakan sukses karena berhasil menjadi film dengan penonton terbanyak di Netflix. Saya juga heran mengapa film korea yang biasanya dipandang sebelah mata oleh banyak orang, khususnya para heaters segala hal yang berbau Korea, kali ini bisa menyedot jutaan pasang masyarakat Indonesia, juga dunia.

Dan lagi, kepopuleran Squid Game ini juga membuat saya heran, pasalnya kepopulerannya film ini hanya selang beberapa bulan setelah kepopuleran film La Casa Da Papel atau Money Heist season awal. Apakah ada hubungan antara kedua film tersebut? Atau ini hanya perasaan saya saja? Sebenarnya, ada!

Seperti yang kita atau beberapa orang ketahui tentang Money Heist, penonton sudah banyak menyadari jika isu yang diangkat adalah penggambaran sekaligus kritik terhadap kapitalisme, salah satu contohnya yang terpampang jelas terdapat pada lagu ikonik Money Heist sendiri yang berjudul “Bella Cao”.

Meskipun banyak orang yang tidak menyadarinya, korelasi yang terselip antara Squid Game dengan Money Heist terletak pada isu yang mereka angkat, yakni tentang kapitalisme. Mengapa bisa demikian? Jawabannya terletak pada tahun 2008, dimana sutradara Squid game yakni Hwang Dong-hyuk telah menuliskan bahwa Squid Game sendiri adalah sebuah alegori yang berusaha menggambarkan bagaimana kesenjangan sosial, diskriminasi kelas atau biasa kita sebut dengan nama kapitalisme.

Hal ini memang relevan karena Korea Selatan memang menduduki peringkat teratas dengan kasus bunuh diri terbanyak di dunia. Salah satu alasan mengapa fenomena ini bisa terjadi adalah karena kerenggangan intergasi sosial pada masyarakat korea selatan yang dipicu oleh ekspektasi dan standar yang tinggi, mulai dari kekayaan, kecantikan, atau bahkan ketenaran. Oleh karenanya, jangan heran jika banyak masyarakat Korea Selatan yang melakukan operasi plastik, hal ini mereka lakukan untuk mengejar ketertinggalan akan standar yang tinggi tersebut.

Pada awal film saja kita sudah diperlihatkan alasan mengapa kapitalisme bisa begitu aplikatif, adegan yang saya maksud adalah ketika para peserta disuruh untuk menandatangani kontrak dan salah satu kontrak pada poin ke-3 berbunyi jika permainan bisa berhenti jika mayoritas pemain setuju untuk diberhentikan. Dengan pertimbangan aturan yang fleksibel dan hadiah uang yang melimpah ruah, tentu kontrak ini membuat pemain menjadi tidak ragu lagi untuk mendaftar karena menganggap tidak akan ada kerugian yang mereka terima, bahkan ketika mereka kalah. Mereka tidak sadar jika yang akan mereka taruhkan adalah diri dan nyawa mereka.

Kurang lebih seperti itulah fatamorgana kapitalisme. Hal yang selalu ditawarkan oleh kapitalisme adalah kebebasan memilih pada setiap orang, dirinya mendeklarasikan tidak pernah memaksakan si buruh untuk bekerja dan menghamba kepadanya. Disisi lain, buruh juga tidak diberikan pilihan lain karena persaingan kerja yang ketat memaksa buruh berlomba-lomba mencari pekerjaan. Dan saat buruh tidak memiliki pilihan dan terpaksa masuk dalam perusahaan besar dan akan secara otomatis rela dieksploitasi tenaga dan pikirannya dengan cara dibayar murah. Yah, begitulah kapitalisme bekerja.

Oleh karenanya, Karl Marx dan pemikir kiri lainnya begitu mengutuk keras kapitalisme ini. Mereka menganggap kapitalisme sebagai iblis yang bisa bisa menyamar sebagai malaikat bahkan surga dalam waktu dan wujud yang tak tertebak. Jika memang kapitalisme seaplikatif itu, apakah mungkin kita bisa menghindari atau bahkan lepas dari jerat kapitalisme?

 

Komentar