Langsung ke konten utama

Lelaki! : eps 1

Kepalan tangan itu tiba-tiba mendarat di pelipis kananku dan membuatku jatuh tersungkur. Disusul dengan tendangan yang mengenai dahiku, hingga kepalaku bergeser dari tempatku tersungkur.

"Sialan, pada kondisi ini aku tidak mungkin menang," gumamku, sambil meringkukkan tangan, kaki, dan badanku.

Entah berapa banyak kaki yang menendang pinggang, kepala, tangan, dan kakiku kini. Mereka adalah segerombol banci yang masih suka main keroyokan untuk menutupi ketidakmampuannya berkelahi.

Dalam gusar amarahku, tendangan itu berhenti.

"Tunggu... Tunggu... Biarkan dia berdiri!" Ucap Alex sambil menahan teman-temannya.

Dengan sekuat tenaga, aku mencoba bangkit. Lenganku gemetar karena menahan sakit, sesekali ambruk dan mencoba berdiri kembali. Darah menetes dari hidung dan bibirku. Kemudian aku berhasil berdiri dan memasang kuda-kuda dengan kaki gemetar.

Belum sempat aku menengok wajah mereka, tendangan lurus tepat menghantam rahangku. Aku kembali tersungkur.

Secepat mungkin aku meraih ranting pohon dan mencoba bangkit, darah terus bercucur seperti keringat. Kini rahangku seperti mati rasa dibuatnya.

Saat-saat seperti inilah yang membuatku berharap memiliki khodam, dan memporak-porandakan mereka dengan telekinesisku. Tapi itu mustahil.

"Ayo jagoan, mana ilmu bela diri yang kau pelajari itu"

"Kami tak pernah belajar bela diri, tapi mampu menumbangkanmu sekarang yang hanya seorang diri." Teriak Alex dan kawanannya yang terdengar seperti anjing di telingaku.

"Maju satu-satu pengecut!" Teriakku sekuat tenaga.

"Wahh... Masih bisa nantangin nih anak!" Bibir Alex menyeringai sambil mengepalkan tangan.

Benar saja, Alex datang menyerang seorang diri dengan pukulannya dan mendarat di mataku. 

Seketika pandanganku kabur, tapi hal yang menarik adalah ternyata pukulannya tak lebih kuat dari keponakanku yang baru saja latihan silat 3 bulan lalu. Namun, pukulan tetap saja pukulan, yang tetap menghadirkan kesakitan ketika mendarat.

Pukulan keduanya diarahkan ke rahang bawah, tapi aku berhasil menghindarinya. Sepertinya aku sudah mulai mengetahui bagaimana tipe bertarungnya.

"Kau serius mengalahkanku dengan pukulan seperti itu?" Aku mulai menyeringai sambil mengisyaratkan tangan agar dia memukul kembali.

"Sudahku bilang, kau tak lebih dari seorang banci ketika bergerak sendiri..."

Brak! 

Tendangan sabit mengenai kepalaku, setelah itu aku tak ingat apapun lagi dan semuanya terlihat kosong.

***

Aku pikir ini adalah babak akhir dari seorang Joko, lelaki yang tak pernah mundur kecuali perihal wanita. Seorang jawara silat, murid kesayangan eyang gembul yang terkadang suka congkak dan menantang siapapun yang membuatnya kesal. 

Orang mengatakan aku sedikit memiliki penyakit mental, karena selalu menantang orang yang duduk santai di jalan karena menurutku wajahnya terlihat menantangku. Tentu saja dia tak benar-benar menantangku, tapi tetap saja aku butuh olahraga. Hingga mungkin kebiasaan itulah yang mengantarkanku kepada Alex dan gerombolannya.

"Aku dimana?" Pertanyaan yang paling aku benci dalam adegan sinetron akhirnya aku ucapkan. 

Dulu aku mengutuk keras dialog tersebut, namun setelah aku mengalaminya, aku baru mengetahui bagaimana kebingungan otak pasien yang tak sadarkan diri karena ada lompatan ruang dan waktu yang dialaminya selama pingsan.

Semua ingatanku hilang, kecuali saat pertarunganku dengan banci Alex dan anjing-anjingnya itu, yang aku tahu sekarang aku terkapar dengan jahitan di pelipis kanan dan perban yang mengikat rahang bawah hingga ubun-ubun. 

Aku tak sanggup melihat diriku yang nyaris seperti mumi Fir'aun.

Kesadaranku di iringi dengan gelak tawa Doni, yang sesekali menepuk bahuku dengan tujuan agar aku sadar.

Giginya yang sedikit kuning dimakan kafein kopi, menyambut kesadaranku sambil berkata:

"Untung ada kami, kalau tidak mungkin kau sudah di liang lahat sekarang di tangan Alex."

"Lain kali jangan bertindak bodoh dengan melawannya sendiri, tak ada orang di dunia ini yang cukup tolol dengan menghadapimu seorang diri. Camkan itu!"

"Eyang gembul adalah jawara tersohor di desa ini. Gelar murid emas yang di sematkan padamu tentu saja akan membuatmu ditakuti sekaligus dalam bahaya, untuk itu jangan bertindak bodoh!" Teriak Doni dihadapanku.

Doni memang sialan, bisa-bisanya dia menceramahiku saat kondisiku seperti ini. Saat aku hendak membalas ocehannya, ternyata mulutku tak sanggup bergerak dan hanya bisa bergumam.

Ternyata pertanyaan "aku ada dimana" tadi tak pernah benar-benar keluar dari mulutku, melainkan hanya gumamku dalam hati dan imajinasiku saja. Aku bersyukur itu tak pernah terucap, namun kesialan juga menimpaku karena kata Doni rahangku cidera cukup parah.

"Tak usah banyak bergerak, kau istirahat saja. Nanti jika lapar beri saja isyarat, dan Parmin akan siap memberimu makanan cair," ucap Doni sambil menepuk bahu Parmin.

Temanku yang penurut dan cenderung dijadikan babu tongkrongan adalah Parmin. sebenarnya kami tak benar-benar membuatnya menjadi pesuruh, hanya saja Doni suka menjahilinya karena dia adalah satu-satunya yang buruk dalam berkelahi. Untuk itu, Doni sering menyuruhnya untuk kesana-kemari sebagai biaya perlindungannya.

Tentu saja itu hanya gurauan, terlebih aku yang tak tega melihat gigi tonggosnya ketika tersenyum tidak enak jika disuruh oleh Doni.

"Iya mas, nanti biar saya suapi," Parmin tersenyum lugu, namun terlihat menggelikan di mataku.


Komentar