Langsung ke konten utama

Sang Arjuna : Ontobugo 1

Aku sudah lama tidak mendaki gunung, apalagi jika dihadapkan pada ketinggian 3000 mdpl dan membawa rombongan, bisa saja akan menghabiskan berhari-hari hanya untuk aktivitas yang melelahkan ini.

Aku tidak pernah menyangka jika harus bergelut dengan dataran tinggi ini, lagi. Karena setelah Penanggungan, hampir saja aku telah bersumpah untuk tidak menjajakkan kaki ku di gundukan raksasa ini lagi. Apalagi jika harus membawa rombongan yang entah sudah mempersiapkan apa saja sebelum mendaki, hal itu yang membuatku cemas.

"Aku dulu sebelum menjajakkan kakiku ke mahameru, setidaknya perlu latihan dua minggu. Dengan latihan lengan, nafas, dan otot kaki yang ketat." Ucapku sambil menyalakan rokok karena sudah mulai kedinginan.

Kemudian Rocky datang dengan menepuk bahuku.

"Kau terlalu sombong, aku sudah mempersiapkan ini jauh-jauh hari," balasnya dengan mulutnya yang sudah mulai menyeringai.

Tak butuh waktu lama, Carli datang dengan membawa lembaran peta gunung Arjuno dan beberapa dokumen lain yang ia selipkan diketiaknya.

****

Setelah proses breaving yang memuakkan karena Carli dan Rocky sudah mulai berlagak seperti juru kunci gunung yang tahu akan medan gunung ini, padahal dirinya belum pernah sama sekali menjajaki gunung dengan ketinggian 3000 mdpl. Kecuali si Rocky, itupun masih harus dalam arahanku dan menjadi beban pada saat itu. Memang merepotkan mereka ini!

Hal yang paling merepotkan bukanlah mereka berdua, melainkan aku harus membawa satu rombongan dengan 4 laki-laki dan 8 perempuan. Tentu bisa dibayangkan bagaimana lamanya perjalanan ini, namun aku berharap akan tetap kondusif hingga akhir.

Kemudian, matahari sudah mulai menyengat kulit. Keringat mulai bercucuran di pelipis Carli yang menandakan hawa dingin sudah tidak terasa lagi, dan segera bagi kami harus bergegas pergi ke puncak untuk mengejar waktu.

Kita berbaris dan aku mengambil posisi paling belakang, kata mereka karena aku berpengalaman, maka aku harus menjadi penjaga mereka layaknya ketua rombongan serigala.

Belum sampai 10 langkah, beberapa perempuan ini meminta untuk berhenti. Mau bagaimana lagi, kita adalah satu tim dan dituntut harus saling mengerti.

Setelah beberapa menit, kita melanjutkan perjalanan.

"Kamu kenapa?" Tanyaku pada Wati, salah satu perempuan di rombongan kami, yang kebetulan berada di depanku.

"Tidak apa!" Jawabnya ketus, sambil berusaha mengatur nafasnya yang sudah mulai kacau.

Aku sudah tahu dia kelelahan, dan kondisinya memang seperti tidak memungkinkan untuk mendaki gunung. Tapi mungkin seperti itu perempuan, diciptakan sebagai ujian kesabaran bagi laki-laki. 

Untuk itu, aku tetap bertanya kepadanya...

"Kamu kenapa? Kalau tidak kuat, istirahat dulu," tanyaku kembali, sambil memberi isyarat berhenti kepada rombongan.

Tak berselang lama, Wati ambruk dengan posisi duduk, menjadikan tas yang seukuran hampir separuh tubuhnya sebagai sandaran.

Wati mencoba mengais-ngais nafasnya yang mulai meninggalkannya dengan hidungnya yang kembang-kempis. Tak nampak raut kesombongan diwajahnya kini, yang biasa ia pertontonkan. Hanya raut kelelahan dengan nafas yang mulai terengah-engah.

"Jika memang lelah, tak perlu ditutupi dengan wajah sok sangarmu itu." Sautku sambil meletakkan pantatku ditanah karena mengira kita akan istirahat cukup lama.

Entah karena ucapanku yang terlalu menohok ataukah memang perempuan satu ini tak mau terlihat lemah, matanya terbelalak sambil berkata...

"Mari berangkat!" 

Aku tertegun melihat kemampuan penyembuhanku yang hanya dengan lontaran kata dengan sedikit nada mengejek, bisa membuatnya pulih dari asmanya.

***

Dengan segala drama berjalan-berhenti secara terus menerus, kami akhirnya hampir sampai di pos 1, Ontobugo. Ditandai dengan payung-payung penjual gorengan yang warna-warni, dan kepala patung ular yang terlihat seperti naga, semakin lama semakin terlihat jelas.

Sesampainya disana, si sialan Carli, Dian dan Aisyah membeli mendoan goreng khas pos 1. Entah kenapa mereka ini paling tidak bisa menahan ihwal perut. Terutama Carli dan Dian, mereka adalah orang yang paling tidak tahan lapar.

"Ternyata murah ya gorengan disini." Carli bercerita dengan mulut penuh gorengan dan sambil membawa mendoan di kedua tangannya. 

"Berapa memangnya?" Tanyaku menghargai percakapan.

"2.000 rupiah sudah bisa makan mendoan setebal ini diatas gunung." Ungkapnya sambil menunjukkan mendoan tepat di muka ku.

"Jangan terlalu banyak makan, jika tidak ingin berak sebelum pos 2, karena kau bisa saja melihat kotoranmu menggelinding di dataran miring ini." Gurauku sambil tertawa, diikuti dengan nada jijik teman lainnya yang juga sedang makan mendoan.

Aku mulai meninggalkan Carli dan Dian yang sedang asyik dengan mendoannya, kemudian terlihat Arka dan Lusi yang berbincang dengan orang tua di depan pondok kayu yang konon dibangun oleh satuan tentara yang sering berkunjung ke pos 1 ini untuk latihan.

Mataku menyipit, mencoba membaca perbincangan mereka melalui gerakan bibir. Tak mampu terbaca olehku, suara lirih mereka juga tak mampu dijangkau oleh pendengaranku ini. 

Dengan rasa penasaran, aku pun bergabung dengan mereka untuk menemui orang tua di depan gubuk itu.

Blangkon lusuh, kalung tasbih yang melingkar di leher hitamnya, Jenggot putih tak beraturan, gigi ompong karena dimakan usia, dan keriput yang mulai menutup matanya sehingga terlihat semakin sipit, penampilan yang tidak asing lagi ketika berkunjung ke gunung ini.

Mereka adalah yang disebut sebagai petapa ataupun penghayat spiritual. Mereka biasa menyebut kegiatan mereka sebagai lelaku, sebuah proses pencarian hakikat hidup dan penemuan jati diri yang dilakukan dengan cara menyepi di sebuah tempat, seperti gubuk di gunung ini. 

Entah jati diri apa yang mereka gali dan penghayatan macam apa yang mereka ingin cari, nalarku tak bisa menjajaki pola pikir mereka yang rela menghabiskan usia tua mereka disini, bahkan tak sedikit yang wafat dalam proses lelakunya.

Apapun itu, keraguan apapun yang sedang menjangkit hatiku kini. Sebisa mungkin tidak aku nampakkan apalagi aku utarakan, selain bisa menyinggung hal ini tentu berbahaya bagi misiku sendiri.

"Sudah berapa lama mbah disini?" Tanyaku sambil menundukkan kepala mengikuti nada bicaraku.

"Saya sudah disini sejak tahun 1984, mas" ungkapnya sambil tertawa, memperlihatkan giginya yang jarang itu.

Aku merasa aneh dengan jawabannya, apakah ini fakta atau hiperbolanya saja agar percakapan kita asyik? Entahlah, sekeras apapun saya berpikir, tak ada waktu bagi saya untuk mengkonfirmasi kebenaran informasi ini. Untuk itu, saya memilih percaya.

Tak butuh waktu lama, kakek tua ini mulai bercerita tentang masa mudanya dulu yang suka mendaki gunung. Ceritanya merusak lamunanku.

"Saya bersyukur jika ada anak muda yang masih peduli dengan alam, jarang sekarang anak muda yang mau menjajakkan kakinya diatas gunung, di dalam hutan, dan menjaga kelestarian alam." Ucapnya sambil tersenyum dan di iringi dengan kepulan asap yang keluar dari rongga gigi ompongnya.

Kakek ini melanjutkan.

"Alam dan manusia sebenarnya adalah satu, dimana manusia adalah gabungan dari semua elemen alam. Angin, api, air, tanah, semuanya ada pada diri manusia."

Dengan sesekali menepuk dan memijat kaki saya, dia menerangkan lebih lanjut makna alam dalam diri manusia.

"Darah sama halnya air sungai yang ada di alam, tarikan keluar masuk oksigen adalah manifestasi dari angin dalam tubuh kita, panas tubuh adalah api dalam diri, dan tanah adalah manusia itu sendiri. Untuk itu, setiap mati kita dikembalikan padanya, entah api ataupun tanah."

Kakek ini kemudian berpesan agar kami turut serta untuk menjaga alam, karena alam adalah diri kita sendiri. Maka saat kita sakit, diri kita akan merasa tidak nyaman.

Lebih lanjut ia menjelaskan makna sholat pada kami dalam kacamata naturalisme, entah sesat atau tidak. Perumpamaan yang ia pakai masuk akal. Sial, nampaknya aku sudah mulai tersesat!

"Api itu sifatnya tegak, maka kita saat kita takburatul ihram posisi kita berdiri layaknya api, kemudian rukuk adalah manifestasi dari sifat angin, kemudian gerakan kita semakin lama semakin merendah layaknya air, hingga akhirnya kita sujud sebagai perwujudan dari tanah yang ada dibawah dan perlambangan kita ngawulo kepadaNya." Ucapnya dengan sorot mata yang mulai serius menatap kami.

"Jika Tuhan kita, Allah saja sudah mengisyaratkan sifat alam dalam sholat kita, lantas apa landasan kita untuk merusak alam lebih lanjut lagi?" Serunya dengan telunjuk yang sesekali menunjuk keatas dengan rokok yang masih menyala.

Kemudian Rocky datang dengan menjulurkan kepalanya ke dalam gubuk itu melalui pintu masuk dan berkata.

"Ayo teman-teman, kita segera lanjutkan perjalanan. Aku khawatir kita kemalaman nanti."



Komentar