Langsung ke konten utama

Prolog: DWIFUNGSI TNI


TRIGER WARNING: Tulisan ini memuat beberapa kata kasar yang mungkin mengganggu kenyamanan dan tidak cocok untuk usia anda, jika merasa tidak perlu, silahkan keluar dari blog ini dan jangan meneruskan membaca!

Tulisan ini dibuat satu hari setelah RUU TNI di sahkan, pada 20 Maret 2025. 

Entah apa urgensi pemerintah yang mulai dari awal pencalonannya ini diwarnai dengan aksi tak terpuji seperti Ketua Mahkamah Konstitusi yang meloloskan sang ponakan untuk menjadi Wapres dan mengobrak-abrik konstitusi yang sudah tertata, hingga banyaknya demonstrasi yang dilakukan oleh gerakan rakyat sipil dan mahasiswa. 

Kini, gebrakan baru sekaligus pukulan telak yang memilukan dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri!

Tak ada kata yang pantas selain pemerintah bangsat! 

Susah payah mahasiswa, rakyat, akademisi, hingga politisi yang mengupayakan terjadinya reformasi dan mengembalikan ABRI ke dalam baraknya lagi. Kini dengan entengnya di bangkitkan lagi ruh dan jasadnya oleh pemerintahan saat ini.

Dalihnya, ini adalah upaya pengamanan dan cuma dilakukan di 15 kementerian saja, tidak seluruhnya. Oh ayolah, apakah sebodoh itu kau pikir rakyat Indonesia?

Walau tidak seluruhnya, isi UU TNI ini sangat bermasalah khususnya pasal 7 ayat 3 yang menjelaskan bahwasanya TNI dapat melakukan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) jika dianggap ada gerakan yang dapat membahayakan pemerintah. Ini bermasalah, karena kata bahaya sendiri sangat subjektif.

Sekarang begini, sejak kapan pemerintah jelas dalam menentukan subjektifitasnya tanpa melakukan represi? UU ITE yang dalam prakteknya lebih banyak digunakan oleh pejabat untuk menjerat aktivis-aktivis kritis, sudah cukup membuktikan bahwasannya pasal karet semacam ini sudah pasti busuk kedepannya!

Saya sekarang sedang membayangkan tentang keadaan Indonesia 5 tahun kedepan yang akan sangat mirip dengan Orde Baru yang menggunakan militerisme untuk mempertahankan kestabilan kekuasaan rezim, membungkam kritik, dan mengontrol masyarakatnya.

Pada akhirnya, kita ada pada masa dimana para ahli ilmu politik menyebutnya sebagai demokrasi elektoral, dimana ini pernah terjadi selama Orba.

Kita seolah merayakan demokrasi memang, ada pemilu setiap lima tahun sekali, dan seolah sesuai proses yang demokratis. Namun, dalam prakteknya ternyata telah diatur sedemikian rupa agar pemenangnya tetap sama, yakni Suharto. Oleh karenanya, ini yang menjadikan kepemimpinan Suharto awet, hingga 32 tahun. 

Suharto selain menggunakan kekuatan militernya, dia juga menggunakan kekuatan politik dengan sistem bagi-bagi jabatan dalam kabinetnya. Makanya, saat kejatuhannya, Suharto identik dengan istilah KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), dimana memang ini adalah senjatanya untuk menstabilkan kekuasaannya. Tidak peduli dia ahli atau tidak, selama orang itu punya masa dan potensi menyumbang kekuatan atau suara untuk sang Presiden, dia akan diangkat jadi orang penting.

Itu belum cukup buruk, sampai kalian tahu tentang isi pasal 7 ayat 2 yang menjelaskan bahwasanya TNI berhak untuk menindak bahkan mencekal konten di media sosial yang dianggap membahayakan negara atau berkaitan tentang cyber crime. Aih, pengawasan media, sangat mirip sekali dengan mertuanya!

Bagaimana, apakah kalian sudah melihat kesamaan pemerintahan sekarang dengan Orba? Yes! Tentu saja persis!

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Cuma dua, melawan dan berdoa! Jangan takut dan gentar untuk terus melawan, apapun resikonya!

Sidoarjo, 21 Maret 2025

Komentar