Tulisan saya kali ini akan sedikit berbeda, karena pada kesempatan kali ini saya akan menggandeng blog dan tulisan rekan seperjuangan saya yaitu Ahmad Wahyu Mubarok. Yah, sekilas gambaran mengenai kawan saya yang satu ini, dia adalah seorang yang sangat idealis dan tergila gila akan dunia kontra atau oposisi dengan hal-hal mainstream, hingga suatu saat idealismenya luntur bahkan hancur oleh beberapa alasan. Jongor! :)
Oke balik lagi, bebebrapa hari kemarin, kawan saya yang biasa dipanggil Wahyu a.k.a Pambudi ini menulis sebuah opini mengenai pencak silat, ya! Hal yang selalu diagung agungkan oleh beberapa anak muda di pedesaan maupun perkotaan. Pambudi kemarin telah menunjukan sisi gelap dan borok dari dunia pertarungan seni bela diri pencak silat Indonesia. Mulai dari premanisme, petarung jalanan, suara yang termarjinalkan dan hal-hal lain.
Tentu saja, Pambudi sudah memaparkan secara gamblang mengenai faktor-faktor yang membuat sering terjadinya tawuran atau bentrok yang dilakukan oleh oknum pesilat ini sendiri. Namun, dalam perspektif saya, masih ada hal yang belum dibahas oleh saudara Pambudi, namun krusial. Hal apa itu? Mari kita simak bersama-sama.
Pencak Silat adalah seni bertarung asli Indonesia yang diperkirakan sudah ada sebelum zaman kolonialisme Belanda. Karena kisah dalam sejarah seperti warok, Wiro Sableng, Arya Kamandanu hingga pejuang kemerdekaan seperti si Pitung dari Betawi dan Sadiman a.k.a Sakera dari Madura yang tidak hanya terkenal atas kesaktiannya, namun juga ilmu bela dirinya yang terbilang tinggi. Pencak silat pada awalnya berfungsi untuk menjaga diri, hingga bertarung melawan musuh dalam perperangan. Akan tetapi, eksistensi dari pencak silat di Indonesia, semakin lama bukannya semakin meredup, malah semakin berkembang meskipun pada zaman modern saat ini.
Jika kita pikir, belajar pencak silat di era modern saat ini tidak ada gunanya, karena sekarang sudah bukan zamannya perang dengan mengadu teknik bela diri, adu kesaktian dan ketangkasan gerakan. Sekarang manusia tak perlu puasa untuk bisa terbang karena sudah ada pesawat, manusia tak perlu tirakat untuk bisa kebal karena ada baju zirah bahkan baju atau rompi anti peluru. Lalu, untuk apa belajar pencak silat? dan mengapa pencak silat masih eksis di era modern seperti sekarang ini?
Salah satu alasannya adalah untuk mencari teman dan jati diri. Survei membuktikan, pada umumnya orang yang tertarik untuk terjun ke dunia seni bela diri adalah pada usia anak-anak hingga remaja, kalaupun ada yang sudah dewasa yang baru terjun ke dunia seni bela diri, itu mungkin dengan alasan olahraga, jaga-jaga, atau bahkan hanya sebatas gemar mempelajari seni dari pencak silat tersebut. Pencak silat dianggap sebagai ekstrakurikuler yang paling keren setelah olahraga mainstream (futsal, badminton, volly, sepak bola, dll). Karena selain masuk ke dua cabang ilmu, yakni kesenian dan olah raga, keterampilan dalam "berkelahi" inilah yang di idam-idamkan oleh anak-anak di usia muda untuk bisa menunjukan siapa dirinya. Tak dipungkiri, orang dewasa sekalipun, yang notabenenya baru masuk kedalam dunia pencak silat pasti akan mengalami fase kesombongan karena sudah merasa lebih unggul dibanding mereka yang tidak ikut pencak silat atau bahkan bisa menganggap perguruan mereka lebih unggul daripada yang lain.
Lalu, mengapa fenomena etnosentrisme dan egosentrisme (menganggap golongan dan dirinya adalah yang terbaik) ini bisa terjadi bahkan dalam lingkup pencak silat sekalipun.
Mungkin kali ini kita akan menengok sedikit kebelakang, tepatnya pada zaman kolonialisme Belanda.
Secara geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang dihuni oleh ratusan suku dan ras, perbedaan bahasa hingga agama, dan terpecahnya wilayah oleh laut lepas.
Belanda yang pada saat itu mengetahui potensi ini, kemudian memanfaatkan strategi terampuhnya dalam menghancurkan Nusantara (Indonesia tempo dulu) dengan cara startegi adu domba. Ya, dibentuklah kerajaan-kerajaan, pemerintahan, hingga prajurit dari kalangan pribumi untuk membasmi saudara setanah airnya sendiri. Aneh kan? Disaat para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan, eh ada para pengkhianat yang nusuk dari belakang. :')
Belanda menjanjikan iming-iming jabatan kepada mereka yang berhasil membasmi warga pribumi, menaklukkan wilayah, hingga pada akhirnya, yang paling loyal kepada pemerintah Belanda nanti akan diberikan jabatan tinggi. Mulai dari jenderal, bupati, gubernur, harta, hingga wanita cantik. Tentu saja ini sangat menarik dimata dan telinga warga pribumi, mengingat zaman dulu Nusantara masih kental dengan sistem kerajaan yang dirasa tidaklah mungkin, mereka yang dari kalangan rakyat jelata, berubah menjadi seorang petinggi bahkan raja. Pada akhirnya, warga pribumi yang tergiur akan hal itupun tidak pikir panjang dan langsung bergabung kepada pemerintah Belanda. Maka jangan heran, jika negara sekecil Belanda dan sebiadab Belanda bisa menguasai Indonesia selama 350 tahun. :')
Untuk itu, kemudian para pahlawan dan cendikiawan zaman perjuangan dulu memikirkan sebuah sistem yang diharapkan bisa menjadi obat untuk menambal keretakkan ini, kemudian lahirlah Pancasila, yang terkenal dengan semboyan bhineka tunggal ika (berbeda-beda, tetapi tetap satu jua).
Lalu, apa korelasinya dengan etnosentrisme dalam pencak silat tadi? Masih ingat dengan pidato bung karno tentang JAS MERAH. Ya! Pada waktu itu, Soekarno sempat membuat singkatan yang kemudian viral dan abadi hingga sekarang, yaitu JAS MERAH yang kepanjangannya adalah Jangan Sesekali Melupakan Sejarah. Singkatan tersebut lahir dari pidato Soekarno yang kurang lebih berbunyi seperti ini " Jangan sekali-kali Melupakan Sejarah! Karena Sejarahlah Yang Membentuk Kita! " #CMIIW
Jika kita telusuri, statemen Soekarno tersebut mengandung konsep dari teori Histori yang menyatakan, jika sejarah akan membentuk kepribadian Bangsa, Negara, Wilayah, bahkan Seseorang. Dan ini terbukti dengan semakin kentalnya Indonesia akan konflik yang disebabkan oleh SARA (Suku Agama Ras dan Angargolongan).
SARA, sudah menjadi PR bersama yang tak kunjung terselesaikan, selain korupsi tentunya. Hehe
Maka sudah jelas, titik permasalahan kenapa Indonesia sangat rawan konflik dengan hal yang berbau perbedaan adalah karena faktor massa lalu. Dan ini tidak hanya terjadi pada SARA dalam skala besar, bahkan beda pendapat dan beda dalam pilihan pemimpin saja sudah saling menghina, tebar hoax sana sini. Namun, inilah yang sebenarnya harus dibenahi, dan perlu kita tambal lubang yang memicu perpecahan bangsa ini.
Selain itu, pencak silat juga dianggap efektif dalam rangka pengumpulan massa, dan ini rawan disalahgunakan, mengingat loyalitas anggotanya yang siap mengorbankan nyawanya demi harga diri perguruannya. Jika ini tidak segera dibenahi, tentu kita tinggal menunggu saja perpecahan negara ini. Melalui hal kecil dari sisa bibit-bibit politik adu domba dalam ormas, perguruan, dan suporter bola.
Ealah guys, jaman saiki melok pencak mung gae gaya. Aksi senam buat story medsos.
BalasHapusIri bilang kamerad :v
HapusWokwok imri bimlang boms
HapusAku wingi ngerti arek, melu silat mung digawe aplot aplotan ng story ben kaum hawa podo tertarik, heuheu
BalasHapusWkwk maka dari itu lurs. Miris banget, silat cuma jadi gaya2 an kalau sekarang. Wkwk
Hapus