Langsung ke konten utama

0,5 karat

Kencong, bagaikan setitik berlian di tengah pasir sahara. Nyaris tak terlihat, namun bukan berarti tak ada apalagi tak berharga. Karena sekecil apapun berlian, ia tetaplah berlian yang memiliki nilai jual yang luar biasa.

Analogi tersebut sesuai, karena jika dilihat dari segi geografis kecamatan Kencong, sangatlah mustahil bisa bersaing dengan kecamatan-kecamatan yang letak geografisnya dekat dengan hiruk pikuk kota Jember. Meski begitu, bukan berarti Kencong tak memiliki kesempatan untuk mengungguli kecamatan lainnya seperti Ambulu, Bangsal sari, Rambipuji, dan kecamatan besar yang lain.

Tak bisa dipungkiri bahwa Kencong terus berprogres mulai dari segi pembangunan infrastruktur atau proyek raksasa yang telah merubah mindset hingga gaya hidup masyarakat kencong. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya pusat perbelajaan seperti toko-toko grosir, swalayan, minimarket, sampai mall, itu semua guna memenuhi kebutuhan primer masyarakat, sekunder, atau bahkan tersier.

Pembangunan proyek raksasa seperti mall dan swalayan memang bisa berimbas kepada masyarakat kencong, contoh kecilnya adalah gaya hidup glamour yang biasanya dilakukan oleh masyarakat kota, kini telah menjadi gaya hidup pedesaan. Walaupun terkadang agak missused karena bisa dikatakan masih awam, masyarakat didesa Kencong terus mengikuti trend layaknya masyarakat ibukota. Tentu ini menjadi fenomena yang unik dan layak untuk dikulik dalam sebuah narasi essai masa kini.

Tentu saja fenomena tersebut tak bisa disalahkan seluruhnya kepada gencarnya pembangunan pusat perbelanjaan, karena memang sisa-sisa dari penemuan dan pengembangan revolusi industri 2.0 & 3.0 seperti acara televisi yang semakin hari semakin menghipnotis para penonton untuk hidup layaknya artis idola mereka, dan juga mudahnya mendapatkan sarana informasi dan pelayanan di era globalisasi seperti ojek online, toko, online, sampai kepada game online juga menjadi salah satu faktor pengkapitalisasian masyarakat Kencong.

Namun, fenomena ini juga tak hanya melahirkan masyarakat kapitalis saja, namun juga bisa dikatakan, bahwa fenomena ini adalah berkah bagi segelintir masyarakat Kencong. Bagaimana tidak, lahirnya ojek online dan tokoh online saja sudah bisa membuka peluang usaha bagi masyarakat kencong yang pada awalnya hanya mengojek di pangkalan dan berdagang dipasar-pasar tradisional hingga swalayan, yang tentu saja hasilnya tak sememuaskan menjadi driver ojol dan penjual di toko online.

Fenomena tokoh online ini juga sempat dan bahkan hingga saat ini telah menarik perhatian kaum pelajar hingga mahasiswa. Saya ambil sampel dari teman sekelas saya sewaktu belajar di Sekolah Menengah Kejuruan, pada masa itu mereka telah meraup keuntungan yang lumayan besar dan hanya bermodalkan smartphone, internet, dan kontak WA atau teman FB mereka. Bagaimana bisa? Itulah keajaiban berniaga di masa ini. Mereka menggunakan teknik berdagang yang mirip seperti calo namun dibungkus dengan nama dan gaya berdagang yang lebih modern atau yang biasa kita dengar sebagai reseller. Seperti namanya, mereka adalah orang yang menjual atau menawarkan barang milik orang lain yang kemudian dijual kembali dengan memberikan harga yang lebih mahal dari penjual sebelumnya, guna mendapatkan laba dari jasa menawarkannya tersebut.

Tentu saja fenomena tersebut menjadi trend dikalangan anak muda massa kini, apalagi setelah maraknya berita mengenai CEO start up muda yang menjadi motivasi kaum milenial untuk terus berniaga.

Eksistensi game online juga menjadi fenomena yang asik untuk dikulik, karena fenomena ini juga sempat menjadi problematika orang tua yang mengeluhkan anak-anaknya menjadi generasi merunduk dan masyarakat warkop yang pulang malam dan enggan untuk belajar juga melakukan pekerjaan rumah.

Disinilah peran orang tua dan guru disekolah menjadi penting, karena tanpa sokongan dari kedua elemen ini, si anak akan terua menjadi generasi merunduk dan terjebak dalam gaya hidup nokturnal atau bahkan no life.

Julukan no life ini diberikan kepada anak yang gemar mengurung diri, membenci keramaian, juga sulit untuk bersosialisasi. Mereka hanya gemar memainkan ponselnya dan eksistensinya pun tak memberikan kontribusi bagi kehidupan bermasyarakat, hingga mereka diberikan julukan no life.

Dampak yang ditimbulkan game online juga banyak, karena faktor berdirinya kedai dan warkop free wifi adalah salah satu dampak positif yang ditimbulkan oleh game online. Karena survey yang saya lakukan sendiri dengan menggunakan penelitian partisipatoris itu menunjukan bahwa 8 dari 10 anak hingga orang dewasa mengunjungi warkop dan kedai adalah untuk mabar game online bersama kawan terdekat mereka.

Memang disisi lain, fenomena tersebut menyebabkan kurangnya kesadaran silaturahmi lewat secangkir kopi. Namun yang ingin saya soroti adalah bahwasannya, dampak game online juga memberikan hal positif dalam bidang pengurangan angka pengangguran didesa, juga bisa menjadi pelipur setelah penat melakukan kegiatan sehari-hari seperti kerja, kuliah, ataupun sekolah. Namun perlu dicatat, bahwasannya segala sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik.

Hadirnya jembatan baru yang tujuannya untuk mempermudah dan mempercepat masyarakat desa Kencong untuk melakukan aktivitas juga menjadi fenomena yang cukup menarik untuk diulas secara sekilas. Jembatan yang oleh maayarakat kencong diberi nama Jembatan pocong (ponjen kencong) menjadi salah satu bukti bahwasannya, meskipun masyarakat kencong telah terwarnai oleh budaya-budaya ibu kota, tetap saja tidak menghilangkan sifat-sifat orang desanya, yang bisa dikatakan kemaruk oleh beberapa masyarakat sana mengistilahkan fenomena tersebut. Karena budaya kemaruk ini sendiri masih tak kunjung pudar dan sepertinya akan terus melekat pada setiap masyarakat desa.

Hal ini ditunjukan oleh ramainya pengunjung Jembatan Pocong yang notabene adalah kaum muda - mudi yang sedang asik melakukan swafoto bersama pasangannya, dan duduk dipagar-pagar jembatan. Walau terkesan berbahaya, mungkin itulah konsep percintaan pemuda desa dengan segala keunikan dan kepolosannya.

Terlihat juga eberapa pasutri yang melakukan perihal yang serupa dan seolah tak mau kalah dengan pasangan muda mudi tersebut para pasutri ini terlihat memamerkan kemesraan dan kedekatan keluarganya dengan duduk disepedah, sambil sesekali berpelukan dan suap menyuap hidangan sederhana yang tersedia di jembatan tersebut.

Itu bukanlah suatu keburukan, karena jika dibandingkan dengan pengaruh dari game online yang sedang menjadi problematika kita bersama karena selain berdampak serius kepada interksi sosial, juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan fisik maupun mental.

Saya tidak melihat tersebut sebagai sebuah pelanggaran norma apalagi hukum dengan dalih mengganggu ketertiban umum. Karena memang mereka sudah sah secara hukum agama juga negara, jadi saya tidaklah memperkarakan perihal tersebut.

Bedahalnya dengan game online, budaya kemaruk ini justru menjadi hal yang unik dan menjadi salah satu ciri khas yang dimiliki oleh masyarakat desa. Walau beberapa orang tak menyukai kebiasaan ini, namun unsur itulah yang membuat masyarakat desa terlihat lebih menarik dibanding masyarakat kota.

Ada fakta yang menarik dalam ulasan saya tadi mengenai pengaruh inftastruktur di desa Kencong. Bahwasannya, segala yang terjadi atau hal baru yang terjadi disuatu komunitas masyarakat desa itu sangatlah berdampak bagi kehidupan mereka, baik dari segi kesehatan, ekonomi, interaksi sosial, atau bahkan gaya hidup. Semua memiliki imbas positif dan negatif, itu semua kembali kepada diri anda bagaimana menilai fenomena tersebut.

Selain infrastruktur, Desa Kencong juga melakukan beberapa terobosan dengan membangun lembaga-lembaga pendidikan. Salah satunya adalah SMK

Seperti yang kita tau, SMK merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperkecil angka pengangguran Indonesia. Inilah yang menjadi faktor penyokong banyaknya orang tua yang menyarankan anaknya untuk masuk kedalam Sekolah Menengah Kejuruan.

Tak bisa disalahkan memang, penduduk desa yang notabennya masih minim ilmu pengetahuannya lebih mementingkan sesuatu yang instan dan hanya dengan iming-iming "mudah dapat kerja!" Akhirnya orang tua pun terlena dan merelakan anaknya untuk menjadi budak-budak kapitalis yang baru.

Lucu memang, karena didewasa ini, mindset-mindset kapitalis tidak hanya dimiliki oleh masyarakat kota saja, namun sudah mulai mewabah dalam pemikiran masyarakat-masyarakat desa.

Ini yang mungkin menjadi tantangan tersendiri oleh kaum muda yang seharusnya memiliki pemikiran yang lebih rasional dibanding dengan orang tua - orang tua mereka, namun yang sungguh disayangkan adalah ketika kaum mudalah yang dibungkam suaranya oleh realita, dan di terpasung pemikirannya oleh idealisme - idealisme kapitalis yang menjanjikan manisnya kebahagiaan ketika meraih sebuah kesuksesan dalam bentuk materi (hedonisme).

Lagi-lagi, saya tak bisa menyalahkan mereka dengan segala idealismenya, karena memang sekarang ini kita disuguhkan oleh realita yang menyayat mata dan hati kita. Bahwasannya kebahagiaan akan bisa kita peroleh asalkan kita memiliki uang. Dan upaya agar kita memiliki uang adalah dengan cara bekerja, dan pekerjaan yang didambakan oleh setiap orang tua bagi anak anaknya adalah dengan menjadi manusia berdasi walau minim literasi dan nyaris tak memiliki rasa manusiawi.

"Bumi sedang bersolek, tanpa menyadari bahwasa dirinya semakin menua"

Ungkapan tersebut sangatlah pas untuk menggambarkan situasi sekarang ini, karena mengingat semua kemudahan-kemudahan yang disediakan pada zaman ini memang luar biasa, mesin dan barang elektronik dimana-mana, semua dimudakan dengan serba online. Namun kita tak menyadari bahwasannya kita telah terlena oleh zaman yang serba cepat dan instan ini.

Jika kita hanya bisa hanyut tanpa bisa bersaing atau minimal waspada dengan kegilaan zaman ini, maka bersiaplah untuk tergilas oleh hebatnya dunia instan.

Miris, mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat saat ini khususnya pada desa saya.

Dahulu desa saya bisa dibilang sebagai salah satu kiblat bagi ilmu agama di kabupaten Jember, karena jika ditelisik dari segi historis, desa saya usianya juga cukup tua dan didesa saya terdapat salah satu pondok milik kiyai besar K.H. Jauhari Dzawawi.

Beliau merupakan kiyai bahkan beberapa orang yang saya temui mengatakan bahwa beliau sudah mencapai tingkatan seorang waliyullah, karena beliau memang memiliki karomah yang sedikit orang mengetahuinya.

Proses internalisasi pada desa saya dahulu, khususnya pada Anak-anak, sedari kecil mereka sudah disuruh untuk berangkat mengaji diTPQ dan saya masih ingat, bahwa saya dulu pernah bolos mengaji hanya karena ingin hujan-hujanan namun ketahuan dan akhirnya sayapun dipukul oleh abah saya.

Haha... Bernostalgia memang menyenangkan, apalagi bernostalgia di era sekarang. Jauh lebih menyenangkan, karena bisa mengobati kerinduan dimasa sekarang yang notabennya anak-anak jauh lebih suka nongkrong di angkringan free wifi dibanding bermain kelereng gundu di pekarangan rumah.

Namun nyatanya, bernostalgia tak ada gunanya, hanya menambah beban angan-angan yang terus menyayat perasaan apabila tak kunjung terwujudkan.

Selain belajar, mereka juga diberikan pembelajaran hidup dan norma disetiap lingkungan keluarga mereka dengan disiplin menyapu, minimal pada waktu sore, mencuci pakaian sendiri, dan mencuci piring bekas makan mereka sendiri.

Proses enkulturasinya pun beragam, mulai dari mencuci tangan sebelum makan, berdoa sebelum makan, tidak berbicara saat makan, dan berdoa setelah makan, juga minum tidak boleh dengan sekali tenggak atau tidak menggunakan gelas.

Ribet? Sangat! Itulah yang kemudian menjadi faktor utama pemberontakan anak-anak milenial yang notabennya menginginkan segala sesuatu yang serba cepat, praktis, dan gak ribet. Jadi mulailah ada pembangkangan dan pemberontakan dalam rana keluarga.

Awal dari gerakan pemberontakan itu sebenarnya tidaklah se-ekstrim layaknya tindakan separatis oleh kelompok-kelompok radikal, hanya berupa bantah an dari seorang anak kepada orang tuanya dan menolak melaksanakan hal tersebut yang kemudian anak-anak ini tumbuh dewasa dan membentuk generasi baru yang tak menggunakan norma adat tersebut yang mereka nilai sebagai sesuatu yang kuno.

Seperti yang dikatakan Pramodya Ananta dalam bukunya yang berjudul Arus Balik. "Kita tidak bisa melawan arus balik tersebut, kita hanya bisa membendung".

Kata tersebut memiliki makna bahwa sekarang ini, di Indonesia telah terjadi suatu fenomena kemunduran dari segi pendidikan, adab, norma, perilaku, pemikiran, dan lain sebagainya. Arus balik telah menghempas Nusantara sejak keruntuhan kejayaan Kerajaan Majapahit.

Maka dari itu, ketika kita tidak sanggup melawan arus balik tersebut, setidaknya kita bisa membendung arus tersebut dengan tidak menjadi faktor penyokong kemunduran bangsa Indonesia.

                   ..................

esa yang dulu proses Dinamika Kebudayaan, khususnya pada unsur Internalisasi dan Enkulturasinya berpatokan kepada norma dan nilai-nilai agama dengan tanpa menyingkirkan unsur adat istiadatnya sekarang telah berubah kepada suatu bentuk baru yang mungkin bisa dinamakan Asimilasi. Karena tak bisa dipungkiri budaya-budaya barat yang telah membaur dengan budaya kejawen Jember yang bisa dibilang masih kental, namun seiring berjalannya waktu terkikis oleh budaya asing dan menjadikan kelompok sosial baru yang oleh anak zaman now dinamakan Jamet (Jawa Metal). Kelompok ini kerap bergaya dengan style yang tercela dan agak missused.

Ini juga berpengaruh kepada pemikiran-pemikiran mereka yang hanya suka dengan sesuatu yang berbentuk materi saja atau istilah kerennya Hedonisme, mungkin penyebabnya adalah seringnya mereka mengkonsumsi produk-produk kapitalis yang berimbas kepada pikiran yang bersumbu pendek. Mereka sering memikirkan kesenangan yang bersifat sepintas.

Seperti yang saya katakan, dulu proses Internalisasi kebudayaan berlangsung indah

Akankah pembangunan tersebut memberikan dampak negatif atau positif itu semua kembali kepada individu masing-masing. Karena lingkungan hanya menjadi faktor pembentuk diri kita, dan yang memutuskan akan menjadi seperti apa adalah diri kita

Komentar