Langsung ke konten utama

Mendampingi Tahun Cilaka Bersama Cairnya Dana Bantuan Subsidi.

Wacana yang sudah diumumkan sejak bulan lalu mengenai dana Bantuan Subsidi Upah untuk guru pun akhirnya sudah bisa dicairkan pada bulan November dan Desember mendatang. 

Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Prof Ainun Na'im, mengatakan bantuan subsidi upah (BSU) para guru/dosen dan tenaga kependidikan honorer (guru honorer) sebesar 1,8jt/orang. Jumlah ini menurut saya bisa sedikit membantu perekonomian tenaga pendidik honorer maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang secara nyata terdampak pandemi COVID'19.

Hal ini memberikan sinyal positif kepada pendidik khususnya kepada tenaga pendidik honorer yang selama ini hampir tidak tersentuh bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Alasan pemerintah jarang memberikan bantuan kepada tenaga pendidik honorer adalah profesi guru honorer tidak terdaftar dalam BPJS ketenagakerjaan. Ibu Ida Fauziyah, menteri ketenagakerjaan mengatakan jika upaya penyaluran dana bantuan yang diberikan kepada guru honorer selama ini dengan cara mengakalinya dengan mendaftarkan guru honorer pada Program Keluarga Harapan (PKH). Hal ini memungkinkan guru honorer mendapatkan dana bantuan sebesar 600/bulannya (selama subsidi bantuan berlangsung), seperti yang dikatakannya pada bulan Agustus lalu.
Alasan ibu Fauziyah bisa dibilang masuk akal karena tenaga pendidik non-pegawai negeri sipil atau honorer di Indonesia sangatlah banyak, jauh lebih banyak daripada tenaga pendidik yang sudah berstatus pegawai negeri sipil. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah mengingat guru honorer juga memiliki peran penting dalam proses pencerdasan generasi bangsa. 

Jika dilihat secara tugas dan fungsi dari guru ini sendiri, ternyata masih memiliki kesamaan dengan buruh pabrik yang sering dirampas hak-haknya oleh sang majikan. Bagaimana tidak? Guru selalu mencetak lulusan-lulusan dengan beraneka ragam, mulai dari murid yang menjadi pintar dan berhasil, hingga murid nakal yang entah suatu saat dirinya sadar akan kenakalannya dan bertobat ataukah malah menjadi rampok. Kemudian, setelah guru berhasil mencetak lulusan, guru juga akan menerima murid-murid baru yang siap untuk diolah dengan cara guru tersebut sehingga akan melahirkan lulusan-lulusan yang baru. 

Jika seorang guru disamakan dengan seorang buruh pabrik ploretariat, maka siswa-siswa baru dan lulusan adalah komoditas atau hasil produksi, yang bisa dijual ke pasar-pasar dan orang yang membutuhkan jasanya. 

Akan tetapi, yang sering menjadi permasalahan adalah guru terlebih guru honorer tak memiliki nyali sebesar serikat buruh atau petani yang kerap melakukan demonstrasi pada acara may day setiap tanggal satu Mei. Entah karena belum ada tokoh guru honorer yang berani seperti Marsinah yang kemudian menjadikan serikat buruh makin getol dalam menyuarakan hak-haknya. 

Selain ketimpangan nyali yang terjadi antara buruh dengan guru honorer. Hal yang membuat ironis adalah ketimpangan hak dan gaji guru honorer dengan guur PNS lumayan jauh. Padahal, kebanyakn guru honorer kerap melakukan pekerjaan-pekerjaan yang banyak menyita waktu, pembagian jam yang kurang jelas, sedangkan guru yang sudah PNS kebanyakn ngopi di kantin sambil menghisab kretek dan gosipin bokong ibu guru yang lewat. Meskipun tidak semua guru PNS melakukan hal tersebut, namun disangkal atau tidak kita kerap menemui hal semacam itu disekolah kita dulu. 
Pada situasi pandemi seperti ini, banyak guru/dosen PNS dan honorer seperti dimudahkan, banyak murid sekolah dasar hingga mahasiswa menjerit akibat sulitnya menerima materi dengan pembelajaran secara daring (dalam-jaringan) seperti ini. Terlebih pada guru sekolah yang kerap mengirim tugas tanpa menjelaskan materi, saya rasa hal ini dapat semakin membuat siswa semakin terbelakang karena terbiasa copy paste dari internet dan juga semakin tertekan karena tugas yang terus menumpuk. Stres yang dialami siswa akibat tugas ini bukan isapan jempol belaka dan memang sudah terbukti. Tentu kita masih ingat dengan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh siswa sekolah menengah atas (SMA) yang mengaku dalam suratnya tertekan karena tugas yang diberikan oleh pihak sekolah. 
Kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi tenaga pendidik untuk tidak memberikan tugas secara berlebih kepada siswa, dan untuk para orang tua juga mungkin bisa lebih mendampingi putera dan puterinya dalam melakukan pembelajaran daring agar anak memiliki ikatan batin yang hangat dengan orang tua. Dengan hubungan yang hangat antara orang tua dan anak, bisa memberikan efek positif bagi anak dan semangat tersendiri apalagi ketika anak mengalami stres atau tekanan akibat tugas yang terus menumpuk. Kerja sama yang selaras antara orang tua dan tenaga pendidik sangat berpengaruh kepada kondisi psikologis si anak.
Memang tidak ada yang menginginkan pandemi ini terjadi, dan ini memang sudah diluar kemampuan kita dan pemerintah. Akan tetapi, pemerintah memang sudah banyak mengupayakan hal terbaik dalam menempuh massa sulit ini (pandemi COVID'19) dengan memberikan subsidi kuota kepada siswa dan yang sekarang subsidi upah kepada guru honorer maupun PNS, dan menurut saya program tersebut sudah tepat karena dalam rangka membantu ekonomi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami pandemi COVID'19. Semoga dengan adanya bantuan dan segala upaya yang diberikan, tidak disalah gunakan dan untuk pihak yang mendapatkan bantuan agar bisa menggunakannya sebijaksana mungkin. Selain itu, saya juga berharap agar semua kejadian yang sudah terjadi satu tahun terakhir ini, menjadikan semua keadaan bisa lebih membaik lagi.

Komentar