Pandemi COVID'19 sudah menampakkan dampaknya yang begitu dahsyat sejak awal kemunculannya hingga sekarang. Satu persatu permasalahan sosial, ekonomi, hingga politik pun menjadi sedikit terganggu akibat pandemi COVID'19 ini. Pada sektor ekonomi saja, banyak problem yang dirasakan oleh banyak pihak. Mulai dari pemutusan hubungan kerja yang semakin menyebar ke daerah-daerah karena pengaruh dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar, hingga yang terbaru adalah hutang Indonesia kepada IMF sudah mencapai 6.731 triliun pada tahun 2020 ini.
Hal ini tentu saja menjadi PR bersama, karena peran masyarakat yang ada dalam sektor perdagangan juga berperan dalam menyokong perekonomian negara. Untuk itu, negara memberikan stimulus dengan cara membagikan dana bantuan langsunh tunai hingga bantuan untuk usaha mikro, yang diluncurkan oleh dinas koperasi.
Pemerintah benar-benar dibikin pusing dengan pandemi ini, dimana pada awal usainya diterapkannya PSBB atau pembatasan sosial berskala besar ini juga mulai menuai kritik dari berbagai pihak, khususnya orang tua dan juga siswa. Pasalnya, banyak swalayan dan minimarket yang diizinkan beroperasi dengan alasan pemulihan ekonomi, namun sekolah masih ditutup, dan para siswa masih melakukan pembelajaran secara dalam jaringan atau biasa disebut dengan daring.
Protes ini dikarenakan banyaknya pihak, khususnya orang tua dan siswa yang dianggap kerepotan dan juga menilai jika pembelajaran daring sangat tidak efektif. Kegiatan belajar mengajar secara daring, lebih mirip dengan sistem spam tugas daripada memberikan materi dan belajar.
Tidak adanya interaksi antara siswa dengan guru juga membuat orang tua semakin geram dengan kebijakan pemerintah yang seolah mementingkan peningkatan ekonomi daripada peningkatan kualitas sumber daya manusia generasi penerus bangsa melalui pendidikan.
Saya tau betul bagaimana dan apa yang dirasakan oleh pemerintah. Saya mencoba berprasangka baik dan berpikir jika saat ini, pemerintah tengah dirundung dilema yang lumayan dahsyat karena harus memikirkan 3 PR secara bersamaan. Yakni pemerintah harus memikirkan nasib ekonomi Indonesia yang semakin menurun karena pandemi ini, disaat yang bersamaan juga memikirkan bagaimana nasib orang yang sudah terpapar COVID'19 untuk bisa menyembuhkannya dengan alat seadanya dan mengamankan yang belum terpapar dengan kebijakan psychal distancing. Di sisi lain, pemerintah juga masih dilema apakah akan membuka sekolah seperti pemerintah membuka swalayan dan minimarket, namun dengan konsekuensi siswa lebih beresiko tinggi terpapar COVID'19.
Ditengah dilemanya pemerintah ini, kemudian memancing banyak influencer yang mendadak menjelma sebagai pakar pandemiologi dan juga pakar virus berserta vaksinnya. Segelintir orang ini kemudian menyebarkan opininya kesana kemari, padahal mereka sama sekali bukan orang-orang kesehatan, namun ajaibnya secara mengejutkan mereka berpendapat bahkan dimintai pendapat oleh wartawan dan youtuber-youtuber podcast.
Walaupun yang mereka katakan masih berstatus sebagai opini atau tamggapan pribadi saja, tidak sedikit orang yang mempercayai mereka, menelan apa yang mereka katakan tentang pandemi COVID'19 ini. Mereka bermodalkan analisa dan sumber yang kerap mereka katakan dari "teman saya yang ada di Canada, teman saya di oxford" dan teman-teman mereka yang lain, yang bahkan identitasnya tidak disebutkan.
Sumber yang kabur ini, seharusnya perlu sekali dikritisi oleh masyarakat, walaupun saya agak setuju dengan beberapa pendapat influenser yang mengatakan jika berita mengenai COVID'19 ini terlalu dibesar-besarkan karena dianggap sebagai ladang bisnis oleh para pewarta.
Dilema ini terjadi dan terus menemani hingga tak terasa jika COVID'19 sudah satu tahun ada di dunia ini. Melihat segala realita dan banyak menimbang, akhirnya menteri pendidikan dan kebudayaan, bapak Nadiem Makariem yang berprofesi sampingan sebagai bos Gojek ini pun akhirnya angkat suara mengenai wacana pembelajaran secara tatap muka.
Nadiem mengatakan jika kebijakan tersebut, rencananya akan diterapkan pada januari 2021 mendatang. Bos Gojek ini menjelaskan jika akan memberikan kewenangan dan menyerahkan segala keputusan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka ataupun daring kepada kepala daerah masing-masing. Semua pihak juga dikaitkan oleh pak Nadiem, mulai dari kepala sekolah/rektor, instansi terkait, dan juga orang tua.
Jika pembelajaran ini efektif dan juga penanganan COVID'19 masih bisa dikontrol, maka bisa dilanjutkan. Akan tetapi, jika penyebaran virus tersebut semakin memperparah status pandemi COVID'19nya, maka dihentikan sampai disitu saja.
Sebenarnya, pembelajaran secara online ini baik seperti yang dikatakan oleh pak Nadiem pada awal penerapan sistem daring ini. Dirinya mengungkapkan jika sudah seharusnya, sedari dulu Indonesia bangkit dan menerpakan sistem pembelajaran yang mengikuti zaman 4.0, karena itu bisa berdampak pada kualitas SDM dan juga pola kegiatan belajar siswa dan guru.
Akan tetapi, yang luput dari pengawasan pemerintah adalah mengenai pakem pembelajaran daring yang seharusnya dilakukan oleh guru kepada muridnya. Banyak guru yang belum siap dan tidak paham tentang bagaimana seharusnya pembelajaran daring yang baik dan efektif itu dilakukan. Alhasil, guru yang kurang memahami konsep pembelajarn daring yang baik akhirnya menyimpulkan jika pembelajaran daring adalah sama dengan memberikan tugas secara daring kepada siswanya. Akibat dari kesalahpahaman ini akhirnya membuat siswa semakin tertekan hingga ada kasus yang menayangkan siswa yang bunuh diri akibat tertekan tugas.
Jika pembelajaran tatap muka bisa dilakukan, maka saya hanya berharap semua pihak terkait baik itu pemerintah ataupun rakyat, bisa bekerja sama dengan baik. Karena demi kelangsungan nasib bangsa Indonesia kedepan dan saya harap tidak ada saling tuntut menuntut, akan tetapi kita bisa saling tuntun menuntun.
Komentar
Posting Komentar