Langsung ke konten utama

Tuhan yang kecil

Awal kedatangannya, Islam dianggap sebagai agama yang adem ayem, mengayomi, adil (tak ada kasta seperti Hindu-Budha), dan tak mendiskriminasi. 

Ulama zaman dulu, yang masih dipegang oleh wali songo, memikirkan bagaimana caranya agar umat manusia pada zaman dahulu masuk surga; melalui dakwah-dakwahnya yang tak menghakimi, membimbing mulai dari nol, dan melakukan pendekatan pengenalan Islam dengan halus. Seperti menggunakan kemenyan sebelum mengaji, berdakwah dengan media wayang kulit, dan kidung-kidung jawa. Berbeda dengan ulama sekarang yang kerap menceritakan kengerian siksa neraka, mudah berkata kafir dan menjustifikasi umat. 

Dengan mudahnya kata kafir dilontarkan kepada saudara se-muslim mereka. Padahal, pada zaman nabi Muhammad SAW, kata kafir hanya digunakan untuk orang yang memusuhi dan tidak beriman kepada Allah SWT. Tapi sekarang, mereka mengkafirkan sauadara muslim mereka hanya karena melakukan suatu amalan yang mereka nilai bid’ah atau tidak sejalan dengan mereka seperti; tahlilan, lantunan sholawat dengan diiringi musik. Padahal jika dilihat dari segi historis, Islam di Indonesia khususnya tanah Jawa, merupakan Islam yang dapat dikategorikan unik. Karena penyatuan budaya dan syariat Islam yang dapat berdamai membentuk sebuah asimilasi yang kemudian menjadi sebuah ciri khas Islam yang ada di Indonesia atau Islam di Nusantara. Hal tersebut tak terlepas dari peran perjuangan para wali soongo yang telah mengislamkan tanah Jawa. Metode yang dilakukan oleh wali songo merupakan penyebaran agama Islam dengan cara damai (menolak pengislaman dengan metode perang atau menaklukan, karena ingin memberikan citra agama Islam yang rahmatan lilalamin wa din assalam).

Salah satu sunan dengan gaya dakwah yang unik adalah Sunan Kalijaga. Beliau merupakan murid dari Sunan Bonang yang bernama asli Raden Said dan menjadi satu-satunya wali dengan penyebaran dakwah yang nyeleneh, Sunan Kali Jaga beranggapan jika rakyat diserang jati dirinya, maka rakyat akan menjauh. Itulah yang menjadi alasan Sunan Kali Jaga untuk melakukan dakwah dengan pendekatan budaya. Beliau kerap menggunakan kemenyan sebelum melakukan perayaan keagamaan seperti hendak mengaji dan dakwah. Beliau beralasan, bahwa kemenyannya dimaksudkan untuk sunatullah dan merupakan jati diri dari masyarakat kejawen, dari sinilah kemudian tradisi kirim doa setiap malam Jumat Legi (manis) dengan membaca surat yasin, dengan tujuan mendoakan arwah leluhur dan membakar kemenyan. 

Sunan bonang juga memiliki peran yang penting dalam pengislaman ditanah Jawa. Sama halnya dengan sang murid, beliau menyebarkan agama Islam melalui tradisi yang diadabtasi dari ritual ilmu ngrogo sukmo (meraga sukma). Pada waktu itu, masyarakat Jawa telah menemukan sebuah metode yang lebih mudah dari pada moksa (tingkat kematian terbaik dalam ajaran Hindu) dengan cara upawasa  atau melepaskan segala hal keduniaan dengan dirinya. 

Beberapa orang telah menyadari jika upawasa adalah cara yang tidak mudah, untuk itu masyarakat Jawa akhirnya mencari dan kemudian menemukan suatu metode yang dinilai lebih mudah yaitu ngrogo sukmo (meraga sukma). ngrogo sukmo adalah ilmu yang memanfaatkan sukma atau jiwa seseorang dalam melakukan aktivitas seperti mencuri (ngepet), memikat lawan jenis (pelet), membunuh (santet). Ilmu tersebut dinilai mudah karena bertolak belakang dengan konsep moksa, jika moksa adalah ritual dengan menahan hawa nafsu, maka ngrogo sukmo adalah ritual dengan cara mengumbar hawa nafsu. Ritual tersebut terdiri atas duduk bersila melingkar tanpa busana dengan lawan jenis dan diiringi dengan seks bebas, agar tidak lapar dan proses pelepasan jiwanya lancar harus diberi makan tumpeng dengan manusia sebagai lauknnya, dan agar proses pelepapasan jiwa raganya tidak bergetar, maka diiringi dengan minum arak.

Melihat fenomena tersebut, sunan Bonang miris dan akhirnya memerangi semua penganut aliran ngrogo sukmo ini, hingga pada akhirnya para penganutnya bertebaran dimana-mana (Bali, alas purwo (Banyuwangi), Gunung Lawu, dan lain-lain) untuk menyebarkan kesesatannya. Akan tetapi, mereka yang masih berada ditanah jawa dan tidak bisa kabur, mereka menyerah dan sunan Bonang merubah segala ritualnya menjadi duduk melingkar mengenakan busana, makan dengan tumpeng dan lauk ingkung ayam, dan ritual minum arak diganti dengan minum kopi hingga akhirnya terbentuklah ritual tahlilan.

Tahlilan juga menjadi salah satu perwujudan dari toleransi yang digaung-gaungkan oleh salah satu ormas Islam yang cukup besar dan memiliki banyak massa. Ormas ini mengklaim dapat mengusung konsep agama rahmatan lilalamin wa den assalam, walau akhir-akhir ini ormas ini dikabarkan sedang diterpa isu mengenai ideologi toleransi yang dianggap telah menjadi liberal.
Ormas ini di isukan liberal karena perbuatan oknum-oknumnya (aparat ormasnya yang kerap menjaga gereja, ada salah satu oknum yang membubarkan sebuah pengajian, dan film keluaran ormas ini yang menampilkan scene merayakan hari raya umat kristen dalam gereja) yang suka berulah. Entah itu hanya propaganda dalam rangka penghancuran citra ormas ini, karena ini adalah ormas yang independen dan memiliki banyak massa.

Juga ormas yang dilabeli radikal atau sebagai kelompok ekstrimis yang mengancam ideologi, kemudian dilarang keberdaannya dinegeri ini. memang ormas ini kerap membuat keributan hingga menggelar demonstrasi besar-besaran dengan tujuan mndirikan negara Islam.
Ormas yang bergerak pada bidang penertiban juga tak luput dari mata-mata negatif masyarakat bangsa Indonesia, ormas ini membawa misi amal ma’ruf nahi munkar (berbuat baik, menjauhi yang buruk) maka tak jarang jika ormas ini menertibkan warung-warung yang tetap pada siang hari di bulan puasa, menutup toko-toko miras, dan tempat yang dianggap maksiat lainnya. Ormas ini melakukan penertiban karena menganggap pihak keamanan atau aparatur setempat dianggap tidak mampu mengatasinya, sehingga merekalah yang turun tangan.

Banyaknya ormas-ormas dengan ideologi yang macam-macam dan kadang bersebrangan, membuat bangsa ini semakin chaos dan memperburuk citra Islam dimata non muslim. Mereka yang masih memiliki pemikiran kegolongan inilah yang berpotensi untuk merasa kesatuan negara Indonesia. Kenapa harus terpisah dan dipisahkan oleh ormas, padahal kita adalah satu dalam konsep aqidah.

Jika memang tak sejalan, dan menganggap kelompok lain adalah musuh atau kafir, sekalian saja mendirikan agama baru yang bernama agama Himpunan Tahlil Indonesia, Forum Pecinta Islam, Nongkrong Uasik, Dia-Muhammad atau yang lainnya. 

Kemudian, membuat syariat sendiri yang sekiranya memakmurkan agama baru tersebut. Saya lelah dengan semua pertentangan walau peristiwa mengenai perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan telah diramalkan oleh al-quran, namun bukan berarti kita membelenggu pikiran kita berdasarkan golongan-golongan. Seberapa banyaknya ormas Islam atau kelompok Islam, sejatinya kita tetaplah saudara seiman, segama, dan sama akan ketauhidannya, dan toleransi adalah solusi yang paling sempurna.




Komentar